بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ ١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ ٣
~ Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan 10 malam yang dimaksud
oleh Allah dalam ayat tersebut. Penafsiran para ulama ahli tafsir mengerucut
kepada 3 pendapat:
1. Yang pertama : 10 hari
pertama bulan Dzulhijjah.
2. Yang kedua : 10 malam
terakhir bulan Ramadhan.
3. Yang ketiga : 10 hari
pertama bulan Al Muharram.
~ Yang rajih (kuat) adalah
pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah 10 hari pertama bulan
Dzulhijjah. Hal ini berdasarkan atas 2 hal sebagai berikut:
Hadits
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Jabir radhiyallaahu ‘anhuma
إن العشر عشر الأضحى، والوتر يوم عرفة، والشفع يوم النحر
(HR. Ahmad, An-Nasaa’i, hadits ini dinilai
shahih oleh Al-Haakim dan penilaiannya disepakati oleh Adz-Dzahabi)
KEUTAMAAN-KEUTAMAAN BULAN DZULHIJJAH
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
1.
ما من أيام العمل
الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر. قالوا ولا الجهاد في سبيل الله؟
قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ولم يرجع من ذالك بشيء.
(رواه البخاري(
2. مَا مِنْ
أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ
هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ (رواه احمد(
3. مَا
مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيْهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ
يَوْمِ عَرَفَةَ (رواه مسلم(
4.
مَا رُؤِيَ
الشَّيْطَانُ يَوْمًا هُوَ فِيْهِ أَصْغَرُ، وَلَا أَدْحَرُ وَلَا أَحْقَرُ، وَلَا
أَغْيَظُ مِنْهُ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ (رواه الإمام مالك
Imam
Malik dalam al-Muwaththa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Maknanya: “Tidaklah setan terlihat lebih terhina, lebih terusir, lebih
ternista dan lebih marah kecuali pada hari arafah” (HR Imam Malik)
5. أَفْضَلُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَأَفْضَلُ مَا
قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِيْ لَا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ (رواه الإمام مالك(
Malam
hari raya Idul Adha juga adalah salah satu malam yang mustajab
untuk memanjatkan doa kepada Allah subhanahu wa ta'ala sebagaimana hal itu
ditegaskan oleh Imam Syafi'i dalam kitab al-Umm:
بَلَغَنَا أَنَّهُ كَانَ يُقَالُ: إِنَّ
الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِي خَمْسِ لَيَالٍ: فِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ، وَلَيْلَةِ
الْأَضْحَى، وَلَيْلَةِ الْفِطْرِ، وَأَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ، وَلَيْلَةِ
النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
Maknanya:
“Telah sampai berita pada kami bahwa dulu pernah dikatakan: Sesungguhnya doa dikabulkan
pada lima malam: malam Jum'at, malam hari raya Idul Adha, malam hari raya Idul
Fitri, malam pertama bulan Rajab dan malam nisfu Sya'ban.”
Ibnu
Rajab Al Hanbaly berkata:
وإذا كان أحب إلى الله
فهو أفضل عنده
Apabila sesuatu itu
lebih dicintai oleh Allah, maka sesuatu tersebut lebih afdhal di sisi-Nya.”
PUASA ARAFAH
adalah di antara kekhususan umat Islam
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada
sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga
hari setiap bulannya[9], …”[10]
~ Di dalam bulan Dzulhijjah ada sebuah hari yang sangat agung, yaitu
hari Arafah. Pada hari tersebut disunnahkan bagi yang tidak sedang melaksanakan
haji untuk melakukan puasa. Puasa Arafah dapat menggugurkan dosa-dosa selama
dua tahun. Pahala puasa Arafah (9 Dzulhijjah) lebih afdhal daripada pahala
puasa Asyura (10 Al Muharram).
~ Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صوم
عاشوراء يكفر السنة الماضية وصوم عرفة يكفر السنتين الماضية والمستقبلة (رواه
النسائي(
“Puasa
Asyura (10 Muharam) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu, dan puasa Arafah
itu dapat menghapuskan dosa selama dua tahun, setahun yang lalu dan setahun
yang akan datang.” (HR. An Nasaa’i)
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
وَالْبَاقِيَةَ (رواه مسلم(
“Puasa
arafah memiliki keutamaan menghapus dosa-dosa (kecil) setahun yang telah
berlalu dan setahun yang akan datang” (HR Muslim)
~ Puasa Arafah termasuk keistimewaan ummat Islam, berbeda halnya
dengan puasa Asyura. Oleh karena berkahnya Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, Allah melipatgandakan penghapusan dosa
dalam puasa Arafah dua kali lipat lebih besar daripada puasa Asyura. Walillaahil
hamd.
PUASA
TARWIYAH
C Imam
Ibnu Qudamah menyebutkan dalam kitabnya “Al-Mughni”, beliau memaparkan dan
menjelaskan kenapa sebab dinamakan hari ke 8 Dzulhijah itu dengan
hari Tarwiyah. Dalam pandangan beliau setidaknya ada dua indikator
(alasan) kenapa hari itu dinamakan Hari Tarwiyah. (kitab Al-Mughni 3/249).
C Alasan pertama,
mereka yang beribadah haji pada hari ke 8 Dzulhijah, setelah berihram,
mereka menuju Mina untuk bermalam dan keesokan harinya mereka akan
menuju Arafah. Pada saat di Mina itu para jamaah (seperti yang dikatakan Ibnu
Qudamah) mempersiapkan air sebagai bekal untuk dibawa berwukuf di Arafah.
Menyiapkan air ini diistilahkan dan mempunyai asal kata yang sama dengan ‘Yatarawwauna’,
karena inilah hari ke 8 itu dinamakan Hari Tarwiyah.
C Alasan kedua, dinamakan Tarwiyah (hari
berpikir) karena di malam hari Tarwiyah itu Nabi Ibrahim A.S mendapatkan mimpi
pertama kali dari Allah untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail As. Seharian
Baginda A.S. berpikir dan bertanya-tanya kepada dirinya, apakah perintah
itu datangnya dari Allah atau dari syaitan. “Bertanya-tanya” itu juga
diistilahkan dengan bahasa “Yurawwi” dan itu sebab dinamakan hari itu
sebagai Hari Tarwiyah.
Ibadah
puasa tarwiyah menjadi salah satu ibadah sunnah yang dilaksanakan sebelum Idul
Adha. Niatnya :
نوَيْتُ صَوْمَ
تَرْوِيَةَ سُنَّةً لِّلِه تَعَالَى
BAGI
PESERTA QURBAN
1. Niat yang Ikhlas
2. Bagi yang akan berkurban,
disunnahkan mulai awal Dzulhijjah sampai dengan hewan qurbannya disembelih
untuk TIDAK MEMOTONG RAMBUT DAN KUKUNYA
إذا دخل العشر من ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي
فلا يمس من شعره ولا بشره شيئا حتى يضحي
“Apabila
sepuluh hari pertama Zulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak
berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai
(selesai) berkurban,” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain)"
-
Menurut Imam Malik dan Syafi'i, orang
yang berkurban disunahkan tidak memotong rambut dan kuku sampai selesai
penyembelihan. Jika dia memotong kuku atau rambutnya sebelum hewan kurban
disembelih, maka hukumnya makruh.
-
Sedangkan Abu Hanifah mempunyai
pendapat yang berbeda. Menurutnya, memotong kuku dan rambut itu hanya mubah
(boleh), jika dipotong tidak makruh, dan kalau tidak
dipotong tidak sunah.
-
Sementara Imam Ahmad mengharamkan
potong kuku dan potong rambut bagi orang yang berkurban. tidak dipotong.
Adapun Imam Ahmad mengharamkannya.
-
Dalam kitab Al Majmu', Imam An-Nawawi
berpendapat, hikmah dari kesunahan ini adalah supaya seluruh anggota
tubuh diselematkan dari siksa api neraka di akhirat kelak.
Larangan potong kuku dan rambut disamakan
dengan orang yang berihram
Masih
menurut pendapat kelompok yang pertama, larangan memotong kuku dan rambut bagi
orang yang berkurban ini disamakan seperti orang yang sedang memaki baju ihram.
Seperti orang yang berihram saat ibadah haji, mereka tidak boleh memotong
kuku dan rambutnya pada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah.
Meskipun
demikian, Imam An-Nawawi kurang setuju dengan pendapat tersebut. Beliau
mengatakan:
قال أصحابنا الحكمة في
النهي أن يبقى كامل الأجزاء ليعتق من النار وقيل للتشبيه بالمحرم قال أصحابنا وهذا
غلط لأنه لا يعتزل النساء ولا يترك الطيب واللباس وغير ذلك مما يتركه المحرم
“Ulama
dari kalangan madzhab kami mengatakan hikmah di balik larangan tersebut adalah
agar seluruh anggota tubuh tetap ada/sempurna dan terbebas dari api neraka.
Adapula yang berpendapat, karena disamakan (tasyabbuh) dengan orang ihram.
Menurut ashab kami, pendapat ini tidak tepat, karena menjelang kurban mereka
tetap boleh bersetubuh, memakai wangian, pakaian, dan tindakan lain yang
diharamkan bagi orang ihram"
Selanjutnya
adalah pendapat yang kedua. Yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku
hewan kurban. Bukan orang yang berkurban. Alasannya, bulu, kuku, dan
kulit hewan itu bisa jadi saksi saat akhirat nanti.
Dalam
kitab fikih, pendapat ini sebetulnya tidak populer. Terutama fikih klasik,
Mula
Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menyebut jika pendapat ini gharib. Alias aneh,
unik, atau asing.
وأغرب ابن الملك حيث
قال: أي: فلا يمس من شعر ما يضحي به وبشره أي ظفره وأراد به الظلف
“Ada
pendapat gharib dari Ibnul Malak. Menurutnya, hadits tersebut berarti tidak
boleh mengambil (memotong) bulu dan kuku hewan yang dikurbankan”
Namun,
almarhum Kiai Ali Mustafa Yaqub yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal
menguatkan pendapat gharib tersebut. Kiai Ali-melalui kitab At-Turuqus Shahihah
fi Fahmis Sunnatin- mengatakan, hadits tersebut perlu dibandingkan dengan
hadits yang lain.
Ada
istilah wihdatul mawdhu’iyah fil hadits (kesatuan tema hadits)
dalam turuqu fahmil hadits (disiplin pemahaman hadits). Hal itu
dipakai untuk menelusuri maksud sebuah hadits. Kadang kala dalam satu hadits
tidak disebutkan tujuan hukumnya. Makanya, hadits itu perlu dikomparasikan
dengan hadits yang lain. Yang lebih lengkap.
Sama
saat memahami hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah. Menurut Kiai Ali, hadits
Ummu Salamah perlu dikomparasikan dengan hadits Aisyah yang berbunyi:
ما عمل آدمي من عمل
يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنه ليأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها
وأظلافها. وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفسا
“Rasulullah
SAW mengatakan, ‘Tidak ada amalan anak adam yang dicintai Allah pada hari Idhul
Adha kecuali berkurban. Karena ia akan datang pada hari kiamat bersama tanduk,
bulu, dan kukunya. Saking cepatnya,
pahala kurban sudah sampai kepada Allah sebelum darah hewan sembelihan
jatuh ke tanah. Maka hiasilah diri kalian dengan berkurban" (HR Ibnu
Majah)
Selain
itu, hadits Ummu Salamah juga dikomparasikan dengan hadits riwayat al-Tirmidzi
yang berbunyi:
لصاحبها
بكل شعرة حسنة
“Bagi
orang yang berkurban, setiap helai rambut (bulu hewan kurban) adalah kebaikan”
(HR At-Tirmidzi).
Setelah
mengomparasikan dengan dua hadits tersebut, almarhum Kiai Ali menyimpulkan
bahwa Nabi melarang memotong rambut dan kuku hewan kurban, bukan orang yang
berkurban. Sebab, kuku dan rambut hewan kurban itu akan
menjadi saksi bagi kita di akhirat nanti.
3. Apakah shohibul qurban (orang yang berqurban) berhak memperoleh
hasil qurban? Dalam Hadis Riwayat Ahmad, Nabi Muhammad SAW bersabda “Jika di
antara kalian berqurban, maka makanlah sebagian qurbannya” (HR Ahmad).
4. Orang yang berqurban dianjurkan untuk memakan sebagian daging
qurban, sementara bagian lainnya ditujukan untuk orang lain yang lebih
membutuhkan.
5. Orang yang berqurban karena nadzar tidak
diperbolehkan mengambil daging qurban sedikitpun dan tidak boleh
memanfaatkannya. Mazhab Hanafi dan Syafi’i,
6. Selain itu, orang yang berqurban tidak boleh memilih bagian untuknya sendiri. Qs. Al-Hjj : 37
yang
sampai kepada Allah bukan dagingnya, bukan darahnya tapi yang sampai kepada
Allah adalah ketakwaan kita dan dengan taqwa ini kendaraan terbaik dan pakaian
terbaik yang kita kenakan untuk bisa menghadap Allah dan mempercepat kita
melewati shirot guna menuju rahmat Allah yaitu surga.
BAGI
PANITIA QURBAN
1.
Harus Amanah
2.
Dibolehkan Mewakilkan Kurban
pada Suatu Kepanitian
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي
طَالِبٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – أَمَرَنِي اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم –
أَنَّ أَقْوَمَ عَلَى بُدْنِهِ, وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا
وَجِلَالَهَا عَلَى اَلْمَسَاكِينِ, وَلَا أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا
شَيْئاً – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan padaku untuk mengurus unta (unta
hadyu yang berjumlah 100 ekor, -pen) milik beliau, lalu beliau memerintahkan
untuk membagi semua daging kurban, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh di
punggung unta untuk melindungi diri dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan
aku tidak boleh memberikan bagian apa pun dari hasil kurban kepada tukang jagal
(sebagai upah).” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari
no. 1707 dan Muslim no. 1317).
3.
Upah untuk Jagal??
Hadits
‘Ali di atas juga menunjukkan, “Bolehnya mengupah orang lain untuk menyembelih
kurban asalkan upahnya tidak diambil dari hasil sembelihan kurban.
Tidak boleh memberi tukang jagal sedikit pun dari daging kurban. Karena kalau
memberi dari hasil kurban pada tukang jagal, itu sama saja menjual bagian
kurban.” (Minhatul
‘Allam, 9: 299).
4.
Panitia berbeda dengan Tukang Jagal
Sebagaimana
kata Ibnu Mulaqqin Asy Syafi’i dalam Al I’lam bi Fawaid Umdah Al Ahkam (6:
286), “Yang dimaksud jagal itu sudah diketahui bersama yaitu orang
yang menangani pengulitan dan memotong daging hewan yang disembelih.”
Adapun
menyamakan antara panitia kurban dengan jagal tidaklah tepat. Alasannya:
a)
Panitia lebih tepat dianggap sebagai wakil dari
shohibul qurban. Kalau panitia kurban itu sebagai wakil, maka sah-sah saja jika
wakil sohibul qurban memakan dari hasil kurban sebagaimana shohibul kurban
boleh demikian. Panitia kurban bertugas lebih kompleks, mereka mencari siapa
yang akan berkurban, mengurus penyembelihan bahkan sampai pada pendistribusian
daging kurban kepada yang berhak atau sebagai hadiah.
b)
Jagal bertugas untuk memotong dan
menguliti hewan kurban. Sedangkan panitia kurban saat ini bukan
terbatas pada itu saja.
ANCAMAN
BAGI YANG MAMPU YANG TIDAK MAU QURBAN
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shollallohu 'alaihi
wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا
يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Artinya: "Barangsiapa yang mempunyai kelapangan rezeki (harta)
tetapi tidak mau berkurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat sholat
kami." (HR Ahmad (2/321), Ibnu Majah 3123, Al-Hakim (4/349),
Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar