Hadits Ke-25
عَنْ أَبِى ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Dzar radhiallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ia berkata: Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi bersabda : “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershadaqah ? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shadaqah, tiap-tiap tahmid adalah shadaqah, tiap-tiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shadaqah “. Mereka bertanya : “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala
[Muslim no. 1006]
Penjelasan Hadits
~ Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan,
“Hadits ini berisi penjelasan bahwa orang miskin itu ghibtah
(ingin berlomba) dengan orang kaya (ahlud dutsur, ad-dutsur artinya
harta). Mereka cemburu baik agar bisa meraih pahala
seperti orang kaya yang mudah dalam bersedekah. Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menunjukkan kepada mereka apa yang mereka
mampu kerjakan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:57)
~ Syaikh Shalih
bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Hadits ini menjelaskan begitu banyak jalan kebaikan. Allah pun memudahkan kita untuk
menempuh jalan kebaikan tersebut. Dan ingatlah setiap orang pasti menginginkan
berbuat baik, termasuk yang kaya dan yang miskin.” (Al-Minhah Ar-Rabbaniyyah fii
Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 207)
Faedah Hadits
Pertama:
Para sahabat memiliki sifat saling berlomba dalam kebaikan.
Kedua:
Para sahabat menggunakan harta mereka dalam hal kebaikan di dunia dan di
akhirat, yaitu dengan bersedekah. Sabab aranjeuna yaqin... ngke di Yaumil Qiyamah Moal aya
nu daek narima kana eta shodaqoh. Maka waktuna ayeuna di dunya ngarah jadi amal
nu dicandak engke...
Tinggal ku urang : ketika Janzah diabringkeun ka MAKAM, aya 3
perkara nu nuturkeun:
1.
AALI ; Keluarga
2.
MAALI ; Harta Banda
3.
‘AMALI
Nu dua ngilu
balik deui (Aali, Maali) nu hiji tetep jeung eta mayit (‘Amali)
Ketiga:
Dalam amal badaniyyah (yang dilakukan anggota tubuh), baik yang kaya maupun
yang miskin sama-sama bisa melakukannya seperti pada amalan shalat
dan puasa. Kadang yang miskin melakukan ibadah lebih bagus dan
sempurna daripada yang kaya.
Oge teu sakedik, nu beunghar bakal lewih tenang ibadahna,
teu seueur emutan deui... Matak ku Alloh disamikeun dina perkara ibadah mah.
Keempat:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuka pintu
kebaikan bagi orang-orang fakir. Pintu kebaikan tersebut selain dengan
shalat dan puasa adalah dengan dzikir, amar makruf nahi mungkar, hingga
hubungan intim dengan pasangan yang halal.
Kelima:
Boleh pembicara mengajukan yang tidak mungkin bsa diingkari/beralasan lagi seperti dalam ucapan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian
jalan untuk bersedekah?”. Sebab dengan mengajukan pertanyaan
semacam ini sudah menjadi pertanyaan yang telak tak terbantahkan.
Keenam:
Semua amalan yang disebutkan dalam hadits yaitu dzikir, amar makruf nahi
mungkar, hingga hubungan intim termasuk sedekah.
›
Akan tetapi sedekah di sini ada yang bernilai wajib
dan ada yang bernilai sunnah.
›
Sedekah tersebut ada yang
a.
bernilai manfaat kepada orang banyak (muta’addi)
Contoh amalan yang muta’addi adalah
amar makruf nahi mungkar.
b.
ada yang kemanfaatannya hanya pada diri
sendiri (qashir). Contoh yang bernilai qashir,
bacaan tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah), takbir (Allahu akbar),
tahlil (laa ilaha illallah).
›
Bacaan dzikir ini ada yang wajib dan ada yang sunnah.
Contoh ada bacaan takbir yang wajib yaitu bacaan takbiratul ihram “Allahu
Akbar”. Sedangkan dzikir tasbih, tahmid, dan takbir pada dzikir bakda shalat
dihukumi sunnah.
Ketujuh:
Sedekah bukanlah terbatas pada sedekah dengan harta saja. Namun hukum asalnya
adalah bersedekah dengan harta.
Kedelapan:
Amar makruf nahi mungkar kadang dihukumi:
·
wajib ‘ain (wajib pada
tiap individu), untuk mengajak yang makruf bagi yang mampu dan tidak didapatkan
pengganti.
·
mustahab (sunnah),
ketika mengajak pada perkara mustahab (sunnah), atau melarang kemungkaran yang
sifatnya makruh, atau ada perkara yang bisa dimutlakkan sebagai kemungkaran.
·
wajib kifayah (wajib bagi sebagian dan sudah mencukupi), berlaku bagi yang
mampu, namun masih bisa diwakilkan pada yang lain.
Kesembilan:
Syarat amar makruf (menyuruh pada kebaikan) adalah :
(1) sudah punya ilmu mengenai hal yang makruf yang
didakwahkan;
(2) mengetahui kalau orang yang didakwahi telah
meninggalkan yang makruf.
›
Dalilnya kenapa ada syarat kedua adalah hadits di mana ada
seseorang pada waktu shalat Jumat masuk masjid sedangkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, ia langsung
duduk, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
padanya, “Apakah Anda sudah shalat?”
›
Ia menjawab, “Belum.”
›
Barulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
padanya, “Bangun dan shalatlah dua rakaat dan persingkatlah.” (HR. Bukhari, no.
931 dan Muslim, no. 875).
›
Di Hari Jum’at : aya Sholat Sunnah Inthidzhor
(Nungguan Khotib sampe naek Mimbar). Teras we sholat setiap 2 roka’at salam,
dst...
›
Hindari ngaliwatan Tuur Batur ketika Jum’at,
jeung ngageserkeun tempat diuk batur
›
Hindari nyarek kanu gandeng jeung sasalaman
ketika khotib tos mulai berkhutbah. Sok sanaos teu diharamkeun.
›
Komo mun aya nu nundutan, ditoel dipaksa sina
sasalaman, lebih baik jangan...
›
Batal teu nundutan?, TEU... sapanjang
peureumna teu bari ngagoler.
~
Lihatlah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak langsung menyuruhnya untuk mengerjakan
shalat dua rakaat, namun bertanya dulu apakah ia sudah melakukan shalat
tersebut ataukah belum.
Kesepuluh: Syarat nahi mungkar (melarang dari
kemungkaran) adalah :
(1) mengetahui sesuatu yang dilarang adalah
kemungkaran berdasarkan dalil syar’i, bukan berdasarkan perasaan, kebiasaan,
cemburu, atau sekilas penglihatan;
(2) orang
yang ingin dilarang telah diketahui terjerumus dalam kemungkaran;
(3) kemungkaran
yang diingkari tidak akan berubah menjadi kemungkaran yang lebih parah.
Menjadi haram hukumnya jika kemungkaran yang diubah
berubah dari kemungkaran ringan menjadi kemungkaran yang lebih besar.
Masalah
kemungkaran yang diingkari ada empat keadaan:
1.
Kemungkaran tersebut hilang secara total.
2.
Kemungkaran tersebut menjadi lebih ringan.
3.
Kemungkaran tersebut menjadi yang semisal dengannya.
4.
Kemungkaran tersebut berubah menjadi yang lebih parah.
›
Untuk keadaan pertama, kemungkaran hilang secara total,
maka tidak ragu lagi hal tersebut menjadi wajib untuk diingkari. Demikian juga
ketika menjadi ringan, sebab mengecilkan bentuk kemungkaran termasuk perkara
yang wajib.
›
Kalau kemungkaran tersebut berubah menjadi yang semisal
dengannya, maka perlu dicermati lagi sebagai berikut:
·
bisa jadi ada maslahat karena bisa jadi lama-kelamaan
kemungkarannya berkurang.
·
bisa jadi bertambah lebih parah, maka mengingkari dalam kondisi
ini diharamkan.
Sedangkan
merubah kemungkaran akhirnya menjadi bertambah parah, dalilnya adalah ayat,
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا
اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
(QS. Al-An’am: 108)
~ Diceritakan oleh Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin bahwa Ibnu Taimiyah pernah melewati kaum
Tatar bersama temannya, ketika itu mereka sedang minum khamar dan
melakukan perbuatan buruk lainnya. Ibnu Taimiyah tidak mencegahnya. Temannya
pun berkata, “Kenapa engkau tidak melarang mereka?
~ Dan beliau
tentunya mengetahui kaidah mengingkari kemungkaran, beliau berkata, “Jika
aku melarang mereka, niscaya mereka akan menyerang rumah-rumah penduduk dan
melukai kehormatan mereka, dan ini tentunya lebih buruk dari keadaan mereka
sebelum diingkari. Cobalah
perhatikan, bahwa sikap Ibnu Taimiyah adalah hasil dari kepahaman dalam agama.
Kesebelas:
“dan
berhubungan intim dengan istri kalian adalah sedekah”. Sedekah
dalam hal ini bisa jadi hukumnya wajib, bisa jadi hukumnya sunnah.
Apabila seseorang khawatir dirinya berbuat zina, jika ia tidak segera
mendatangi istrinya, maka seperti ini dikatakan sedekah wajib. Jika tidak
seperti itu, maka masuk sedekah sunnah.
Kedua belas:
Bisa jadi berhubungan intim dengan pasangan tujuannya adalah sekadar memenuhi
syahwat. Tujuan lainnya adalah untuk menghindarkan diri dari zina yang haram.
Jika tujuannya yang pertama yaitu sekadar memenuhi syahwat dinilai tetap
berpahala, apalagi jika tujuannya yang kedua. Alasannya sekadar memenuhi
syahwat saja mendapat pahala adalah:
1.
Karena kita tidak boleh melarang diri kita pada sesuatu yang jadi
hak kita, selama itu bukan maksiat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya dirimu juga memiliki hak yang harus ditunaikan.”
2.
Mendatangi istri berarti telah berbuat baik pada istri, sebab
wanita pun memiliki syahwat seperti halnya laki-laki.
Jumhur
(mayoritas) ulama berpandangan bahwa tidak hanya sekadar melakukan hubungan
intim (dengan syahwat) mendapatkan pahala namun harus disertai dengan niat
ingin meraih pahala dan mendekatkan diri kepada Allah karena “innamal
a’maalu bin niyyaat” (setiap amal tergantung pada niatnya).
Ketiga belas: Para sahabat tidaklah pernah meninggalkan perkara yang rancu
atau samar-samar. Ada yang dibingungkan, mereka
akan bertanya. Hal ini kesimpulan pada sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa salah seorang
di antara kami melampiaskan syahwatnya lalu mendapatkan pahala di dalamnya”.
Keempat belas: Berarti perkara yang belum pernah ditanyakan oleh para sahabat
yang menyangkut masalah agama, maka mempertanyakannya termasuk bid’ah.
Kelima belas: Bagusnya metode pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
di mana beliau membuat permisalan yang menjadikan lawan bicara menjadi puas,
dan ini termasuk metode yang bagus dalam hal pendidikan. Lihatlah jawaban
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana
pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan di jalan yang haram,
bukankah akan mendapatkan dosa? Demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan
pada jalan yang halal, maka ia mendapatkan pahala.”
Keenam belas: Kalimat “Bagaimana pendapat kalian seandainya hal
tersebut disalurkan di jalan yang haram, bukankah akan mendapatkan dosa?”,
di sini menunjukkan bolehnya qiyas al-‘aksi (sebaliknya).
Ketujuh belas: Mencukupkan diri dengan yang halal dari perbuatan yang haram
menjadikan yang halal menjadi ibadah dan bernilai sedekah. Hal ini berdasarkan
sabda Nabi, “berhubungan intim dengan istri kalian adalah sedekah”.
Kedelapan belas: Siapa yang tidak mampu melakukan ketaatan, maka ia bisa
memperbanyak ketaatan yang lain yang ia mampu.
Kesembilan belas: Hadits ini menunjukkan seorang alim boleh mengkroscek ulang apa
yang ditanyakan dari yang lain.
Kedua puluh:
Hadits ini bukan menunjukkan hasad dari sahabat miskin pada sahabat yang kaya.
Namun ini menunjukkan semangat para sahabat untuk berlomba meraih kebaikan atau
disebut ghibthah. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah
Al-Mukhtashar, hlm. 184.
Faedah hadits ini mayoritasnya digali dari Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsai
Hadits Ke-26
عَنْ أَبي هُرَيرةَ – رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ – ، قَالَ :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( كُلُّ سُلامَى مِنَ النَّاسِ
عَلَيْهِ صَدَقةٌ ، كُلَّ يَوْمٍ تَطلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ : تَعدِلُ بَينَ
الاِثْنَيْنِ صَدَقَةٌ ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ، فَتَحْمِلُهُ
عَلَيْهَا ، أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقةٌ ، والكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ
صَدَقةٌ ، وبِكُلِّ خُطْوَةٍ تَمشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقةٌ ، وتُمِيْطُ
الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ )) . رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap persendian manusia
diwajibkan untuk bersedakah setiap harinya mulai matahari terbit. Memisahkan
(menyelesaikan perkara) antara dua orang (yang berselisih) adalah sedekah.
Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya
ke atas kendaraannya adalah sedekah. Berkata yang baik juga termasuk sedekah.
Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah.
Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah sedekah.” (HR. Bukhari
dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 2989 dan Muslim, no. 1009]
Penjelasan hadits
~
Sulamaa bermakna persendian. Ada juga
yang mengatakan bahwa maknanya adalah tulang.
~
Terdapat hadits dalam Shahih Muslim
bahwa tubuh kita ini memiliki tiga ratus enam puluh persendian.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ
وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ
“Sesungguhnya setiap manusia keturunan
Adam diciptakan memiliki tiga ratus enam puluh persendian.” (HR. Muslim, no.
1007)
~
“Setiap persendian manusia diwajibkan
untuk bersedakah setiap harinya mulai matahari terbit” bermakna setiap
hari diwajibkan bagi anggota tubuh kita untuk bersedekah. Yaitu diwajibkan bagi
setiap persendian kita untuk bersedekah. Dina hadits Shahih disebutken, salah
satu cara shodaqohna badan ku Ngalaksanakaeun Sholat Dhuha.
~
Akan tetapi dengan nikmat Allah, sedekah
ini adalah umum untuk semua bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah).
Setiap bentuk pendekatan diri kepada Allah adalah termasuk sedekah. Berarti hal
ini tidaklah sulit bagi setiap orang. Karena setiap orang selama dia menyukai
untuk melaksanakan suatu qurbah (pendekatan diri pada Allah) maka itu akan
menjadi sedekah baginya.
~
Kalimat yang thayyibah (kalimat
yang baik) ada yang berupa thayyib di sisi Allah seperti bacaan tasbih,
takbir, dan tahlil. Ada juga thayyib di sisi manusia
dengan berakhlak yang baik. Semua termasuk sedekah.
~
Setiap langkah menuju shalat adalah
sedekah baik jarak yang jauh maupun dekat.
~
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ
ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِىَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ
اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالأُخْرَى تَرْفَعُ
دَرَجَةً
“Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu
dia berjalan menuju salah satu dari rumah Allah (yaitu masjid) untuk menunaikan
kewajiban yang telah Allah wajibkan, maka salah satu langkah kakinya akan
menghapuskan dosa dan langkah kaki lainnya akan meninggikan derajatnya.” (HR.
Muslim no. 1553)
Faedah hadits
1)
Pertama: Wajibnya sedekah bagi setiap
orang dengan setiap anggota badan pada setiap harinya mulai dari matahari
terbit. Karena perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “’alaihi shodaqoh” menunjukkan
wajibnya. Bentuk dari hal ini adalah setiap orang bersyukur kepada
Allah setiap paginya atas keselamatan pada dirinya baik keselamatan pada
tangannya, kakinya, dan anggota tubuh lainnya. Maka dia bersyukur kepada Allah
karena nikmat ini.
Nabi telah memberikan ganti untuk hal tersebut yaitu
untuk mengganti tiga ratus enam puluh persendirian sedekah dari persendian yang
ada. Penggantinya adalah dengan mengerjakan shalat sunnah Dhuha sebanyak
dua rakaat. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
« يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ
تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ
تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ
صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى»
“Pada pagi hari diwajibkan bagi seluruh
persendian di antara kalian untuk bersedekah. Maka setiap bacaan tasbih adalah
sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah
sedekah, dan setiap bacaan takbir adalah sedekah. Begitu juga amar makruf
(memerintahkan kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran)
adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat
Dhuha sebanyak dua rakaat.” (HR. Muslim, no. 1704)
2)
Kedua: Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah
mengatakan, “Susunan tubuh dan selamatnya anggota badan merupakan nikmat Allah
bagi hamba-Nya. Maka semua tulang dari tubuh ini punya bagian bersedekah
sebagai bentuk syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa
Al-Hikam, 2:74-75).
3)
Ketiga: Hadits ini menunjukkan
keutamaan berbuat adil di antara dua orang yang berselisih. Dan Allah
Ta’ala telah mendorong kita agar berbuat islah (perdamaian) sebagaimana dalam
firman-Nya,
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ
مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا
بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ
“Dan jika seorang wanita khawatir akan
nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (QS. An-Nisaa’:
128)
4)
Keempat: Dalam hadits ini terdapat
dorongan untuk menolong saudara kita, karena melakukan seperti ini termasuk sedekah.
Baik dalam contoh yang diberikan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits ini atau perbuatan lainnya.
5)
Kelima: Hadits ini memberi motivasi
untuk berkata dengan perkataan yang baik. Hal itu bisa berupa dzikir, membaca,
taklim, berdakwah dan lain sebagainya. Dan keutamaan berdakwah telah
ditunjukkan dalam hadits,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa menunjukkan (orang lain)
kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang mengerjakannya.” (HR.
Muslim no. 5007)
6)
Keenam: Dalam hadits ini juga
ditunjukkan mengenai keutamaan berjalan ke masjid. Dan berjalan pulang dari
masjid juga akan dicatat sebagaimana perginya.
›
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Dulu ada seseorang yang tidak aku ketahui siapa lagi yang jauh
rumahnya dari masjid selain dia.
›
Dan dia tidak pernah luput dari shalat.
Kemudian ada yang berkata padanya atau aku sendiri yang berkata padanya,
‘Bagaimana kalau kamu membeli unta untuk dikendarai ketika gelap dan ketika
tanah dalam keadaan panas.’ Kemudian orang tadi mengatakan, ‘Aku tidaklah
senang jika rumahku di samping masjid. Aku ingin dicatat bagiku langkah kakiku
menuju masjid dan langkahku ketika pulang kembali ke keluargaku.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ جَمَعَ اللَّهُ لَكَ ذَلِكَ كُلَّهُ
“Sungguh Allah telah mencatat bagimu
seluruhnya.” (HR. Muslim, no. 1546)
7)
Ketujuh: Dalam hadits ini terdapat
keutamaan menyingkirkan gangguan dari jalanan. Dan juga ini termasuk cabang
keimanan sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ
أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا
إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada tujuh puluh atau enam
puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah kalimat laa ilaha illallah. Yang
paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanan. Dan malu termasuk bagian
dari iman.” (HR. Muslim, no. 162)
Naha Julaikho (nu ngagoda Nabi Yusuf
as) teu disebut dina Al-qur’an.... jeung timana urang apal bahwa namina eta
Julaikho...
Padahal ku Alloh teu disebutkeun dina Al-qur’an...
Karena Alloh ngahargaan keneh ka manehna sabab boga
saeutik Rasa kaera Keneh.... Pas Ngagoda nabi Yusuf Reregan jeung panto ditutup
sieun jeung era kapanggih kalakuan bejadna. Padahal Alloh mah Uninga kana
perkara eta.
Saeutik wae ku Alloh ditutupan kaerana... komo lamun loba
kaerana dina perkara sae maksadna....
8)
Kedelapan: Syaikh ‘Abdul Muhsin bin
Hamad Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah menyatakan bahwa amalan-amalan yang
disebutkan dalam hadits ini ada yang berupa ucapan, dan ada yang berupa
perbuatan. Juga ada amalan yang qaashir (manfaat untuk diri sendiri)
dan muta’addi (manfaat untuk orang lain). Semuanya termasuk sedekah.
› Amalan yang dicontohkan dalam hadits bukanlah pembatasan. Contoh yang
berupa ucapan muta’addi adalah
a.
mendamaikan yang
berselisih.
b.
membantu menaikkan
orang lain atau barangnya ke atas kendaraannya.
c.
Pangnyebrangkeun batur,
d.
Nulungan anu kena bencana/musibah
e.
menyingkirkan gangguan dari jalan
termasuk perbuatan muta’addi.
› Adapun kalimat yang baik bisa berupa dzikir, doa, membaca Al-Qur’an,
mengajarkan ilmu, amar makruf nahi mungkar, ada yang termasuk ucapan yang
qaashir dan muta’addi.
› Adapun langkah kaki ke masjid termasuk perbuatan yang qaashir.
~
Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa RajaDiqyanus di
Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup
ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika
sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka
sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti
kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka
untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka
di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.
~
Dengan izin
Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan
dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi
masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran
al-'Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).
Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua)
yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya.....
~
Penulis kitab Fadha'ilul
Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan
suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut
berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:
إِذْ أَوَى الفِتْيَةُ إِلَى
الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَا ءَاتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا
مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke
dalam gua lalu mereka berdo'a: "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada
kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan
kami (ini)" (AL-KAHFI:10)
~
Dengan panjang
lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai
berikut:
~
Di kala Umar
Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang
kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah:
"Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad
dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting
kepada anda.
a.
Jika anda dapat
memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan
agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi.
b.
Sebaliknya,
jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil
dan Muhammad bukan seorang Nabi."
~
"Silahkan
bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
~
"Jelaskan
kepada kami tentang
1)
induk kunci
(gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu,
memulai pertanyaan-pertanyaannya.
2)
"Terangkan
kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya,
apakah itu?
3)
Tunjukkan
kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada
bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin!
4)
Terangkan
kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi,
tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau
induknya!
5)
Beritahukan
kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang
berkicau!
6)
Apakah yang
dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok!
7)
Apakah yang
dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik?
8)
Apakah yang
dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara?
9)
Apakah yang
dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik?
10)
Apakah yang
dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"
~
Khalifah Umar menundukkan
kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas
pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan
suatu hal yang memalukan!''
~
Mendengar
jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri
melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang kami bersaksi
bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah
bathil!"
~
Salman
Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan
berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"
~
Ia cepat-cepat
pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman
berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"
~
Imam Ali r.a.
bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
~
Salman kemudian
menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam
Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang
memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul
Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari
tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu
kupanggil!"
~
Setelah
berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu,
Ali bin Abi Thalib herkata: "Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang
kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan
tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"
~
Pendeta-pendeta
Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab,
Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin
mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah
menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat,
kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"
~
"Ya
baik!" jawab mereka. (Pendeta)
~
"Sekarang
tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya:
1.
"Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi
Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah,
baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan
dapat naik sampai ke hadhirat Allah!"
Para pendeta
Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka
pintu-pintu langit?"
Ali bin Abi
Thalib menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Para pendeta
Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu
benar juga!"
2.
Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang
adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"
›
"Kuburan
itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali
bin Abi Thalib. "Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!"
3.
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan
kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya,
tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"
›
Ali bin Abi
Thalib menjawab: "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud
alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut,
masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh
Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!" (Qs.
An-Naml/27 : 18)
حَتَّىٰٓ
إِذَآ أَتَوۡاْ عَلَىٰ وَادِ ٱلنَّمۡلِ قَالَتۡ نَمۡلَةٞ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّمۡلُ ٱدۡخُلُواْ
مَسَٰكِنَكُمۡ لَا يَحۡطِمَنَّكُمۡ سُلَيۡمَٰنُ وَجُنُودُهُۥ وَهُمۡ لَا
يَشۡعُرُونَ ١٨
18. Hingga apabila mereka sampai di lembah
semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam
sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya,
sedangkan mereka tidak menyadari"
4.
Para pendeta
Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami tentang
lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun
di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau
induknya!"
›
Ali bin Abi
Thalib menjawab: "Lima makhluk itu ialah,
1.
Pertama, Adam. (teu
gaduh ibu sareng bapa)
2.
Kedua, Siti Hawa
(Teu gaduh ibu).
3.
Ketiga, Unta
Nabi Shaleh (Teu boga Induk).
4.
Keempat, Domba
Nabi Ibrahim (Langsung Ti Surga).
5.
Kelima, Tongkat
Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
› Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang
diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
›
Tetapi seorang
pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib:
"Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama
seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada
satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."
›
"Tanyakanlah
apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.
"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu
sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana
hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.
›
Ali bin Ali
Thalib menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua.
Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya.
Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."
›
Pendeta Yahudi
itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika
engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan
1.
nama-nama
mereka,
2.
nama ayah-ayah
mereka, nama kota mereka,
3.
nama raja
mereka,
4.
nama anjing
mereka,
5.
nama gunung
serta gua mereka, dan
6.
semua kisah
mereka dari awal sampai akhir!"
›
Ali bin Abi
Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu
ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang.
›
Lalu ia
berkata: "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah
menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota
bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi
nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah
Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse,
sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
›
Penduduk negeri
itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal
dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia
bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan
dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya
berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan,
lalu dibangunlah sebuah Istana."
›
Baru sampai di
situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika
engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana
serambi dan ruangan-ruangannya!"
›
Ali bin Abi
Thalib menerangkan:
a.
"Hai
saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu
marmar. Panjangnya satu farsakh (= 554 m) dan lebarnya pun satu
farsakh.
b.
Pilar-pilarnya
yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan
c.
lampu-lampu
yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas.
Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai
yang terbuat dari perak.
d.
Tiap malam
apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya.
e.
Di sebelah
timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula
di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam
selalu dapat menerangi serambi.
f.
Raja itu pun
membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta.
Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah
para hulubalang kerajaan duduk.
g.
Di sebelah
kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para
pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana
dengan mengenakan mahkota di atas kepala."
›
Sampai di situ
pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau
benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"
a.
"Hai
saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "mahkota raja itu
terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan
tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang
menerangi kegelapan malam.
b.
Raja itu juga
mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para
hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah.
c.
Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah.
d.
Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja
juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk
dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya.
e.
Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu
dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja,
tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di
sebelah kiri."
›
Pendeta yang
bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau
katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu
raja itu!"
a.
Menanggapi hal
itu, Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w.
menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja,
masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina.
b.
Adapun tiga
orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius,
Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka
mengenai segala urusan.
›
Tiap hari
setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan
para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja.
§ Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi
wewangian murni.
§ Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air
sari bunga.
§ Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung.
Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung
itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu
berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta
bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
›
Kemudian si
pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu
hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung
di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian
murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa
burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap
di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum
semerbak di atas kepala raja.
›
Demikianlah
raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama
itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing
kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus.
›
Setelah sang
raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan
dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi
mengakui adanya Allah s.w.t.
›
Raja itu
kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat
dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi
barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia
akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya.
Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia
disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
›
Pada suatu hari
perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan
mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu,
bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan
maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.
›
Demikian sedih
dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya
jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas
singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang
cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja
dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: "Kalau
Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia
tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu
semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."
›
Enam orang
pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah
seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran
Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah
Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan
minum. Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak
mau makan dan tidak mau minum?"
›
"Teman-teman,"
sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku
tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."
›
Teman-temannya
mengejar: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?"
›
"Sudah
lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan.
"Aku lalu bertanya pada diriku sendiri:
1.
'siapakah yang
mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa
gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?
2.
Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu?
3.
Siapakah yang
menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?'
4.
Kemudian
kupikirkan juga bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di
cakrawala?
5.
Siapakah yang
menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan
tidak miring?'
6.
Aku juga lama
sekali memikirkan diriku sendiri: 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi
dari perut ibuku?
7.
Siapakah yang
memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang
membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"
›
Teman-teman
Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi
sambil berkata: "Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu
seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan
jalan keluar bagi kita semua!"
›
"Saudara-saudara,"
jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus
lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan
bumi!"
›
"Kami
setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.
›
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang
itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda
bersama-sama dengan lima orang temannya.
›
Setelah
berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya:
"Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari
kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan
kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar."Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh
7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki
sejauh itu.
›
Tiba-tiba
datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka
bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau
susu?"
›
"Aku
mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi
kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu
pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan
kalian itu!"
›
"Ah…,
susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama,
kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang
sebenarnya?"
›
"Ya,"
jawab penggembala itu.
›
Tamlikha dan
teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar
cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil
menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu
seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku
hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan
segera kembali lagi kepada kalian."
›
Tamlikha
bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi
berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya." (QITMIR)
~
Waktu cerita
Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi
sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah
warna anjing itu dan siapakah namanya?"
a. "Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi
Thalib memberitahukan, "kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan
kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.
b. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor
anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau
anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau
saja dengan batu.
c. Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan
mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: "Hai
orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada
tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku
menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku
kepada Allah s.w.t."
~
Anjing itu
akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka
naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."
~
Pendeta Yahudi
yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: "Apakah
nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"
Imam Ali
menjelaskan:
a.
"Gunung
itu bernama Naglus dan
b.
nama gua itu
ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"
~
Ali bin Abi
Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan
berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum
air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk
berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka,
berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk
menghalang-halangi pintu gua.
~
Kemudian Allah
s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka.
a.
Kepada masing-masing
orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik
tubuh mereka dari kanan ke kiri.
b.
Allah lalu
memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke
dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai
meninggalkan mereka dari arah kiri.
~
Suatu ketika
waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang
pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja
Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat
menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas
bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan
diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan
bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
~
Kepada para
pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan
kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa
diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka
segera datang ke mari!"
~
Setelah
tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua
dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja
berkata kepada para pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada
di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong
kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat
itu."
~ Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ
أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ
السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ
فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَانًا رَّبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ
الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا
Dan begitulah Kamimempertemukan dengan mereka, supaya mereka mengetahui
bahwa janji Allah adalah benar, dan bahwa Saat itu tidak ada keraguan padanya.
Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka
berkata, "Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat
mengetahui mengenai mereka." Berkata orang-orang yang menguasai atas
urusan mereka, "Kami akan membina di atas mereka sebuah
masjid."(AL-KAHFI:21)
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"
Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya
Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun!
Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah
serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu
di kalangan ummat ini!"
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam
Hikmah dari Kisah Ashabul Kahfi
1)
Mementingkan
agama dari apapun, maka niscaya Allah SWT akan menyelamatkannya
2)
Tawakal
kepada Allah SWT apabila dilanda masalah, yakin bahwa Allah SWT akan
menolongnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar