Sabtu, 09 Juli 2022

HADITS #25-26 KITAB ARBA'IN

Hadits Ke-25

عَنْ أَبِى ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Dzar radhiallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ia berkata: Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi bersabda : “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershadaqah ? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shadaqah, tiap-tiap tahmid adalah shadaqah, tiap-tiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shadaqah “. Mereka bertanya : “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala

[Muslim no. 1006] 

Penjelasan Hadits

~      Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini berisi penjelasan bahwa orang miskin itu ghibtah (ingin berlomba) dengan orang kaya (ahlud dutsur, ad-dutsur artinya harta). Mereka cemburu baik agar bisa meraih pahala seperti orang kaya yang mudah dalam bersedekah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kepada mereka apa yang mereka mampu kerjakan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:57)

~      Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan begitu banyak jalan kebaikan. Allah pun memudahkan kita untuk menempuh jalan kebaikan tersebut. Dan ingatlah setiap orang pasti menginginkan berbuat baik, termasuk yang kaya dan yang miskin.” (Al-Minhah Ar-Rabbaniyyah fii Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 207)

 

Faedah Hadits

Pertama: Para sahabat memiliki sifat saling berlomba dalam kebaikan.

Kedua: Para sahabat menggunakan harta mereka dalam hal kebaikan di dunia dan di akhirat, yaitu dengan bersedekah. Sabab aranjeuna yaqin... ngke di Yaumil Qiyamah Moal aya nu daek narima kana eta shodaqoh. Maka waktuna ayeuna di dunya ngarah jadi amal nu dicandak engke...

Tinggal ku urang : ketika Janzah diabringkeun ka MAKAM, aya 3 perkara nu nuturkeun:

1.      AALI ; Keluarga

2.      MAALI ; Harta Banda

3.      ‘AMALI

Nu dua ngilu balik deui (Aali, Maali) nu hiji tetep jeung eta mayit (‘Amali)

Ketiga: Dalam amal badaniyyah (yang dilakukan anggota tubuh), baik yang kaya maupun yang miskin sama-sama bisa melakukannya seperti pada amalan shalat dan puasa. Kadang yang miskin melakukan ibadah lebih bagus dan sempurna daripada yang kaya.

Oge teu sakedik, nu beunghar bakal lewih tenang ibadahna, teu seueur emutan deui... Matak ku Alloh disamikeun dina perkara ibadah mah.

 

Keempat: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuka pintu kebaikan bagi orang-orang fakir. Pintu kebaikan tersebut selain dengan shalat dan puasa adalah dengan dzikir, amar makruf nahi mungkar, hingga hubungan intim dengan pasangan yang halal.

Kelima: Boleh pembicara mengajukan yang tidak mungkin bsa diingkari/beralasan lagi seperti dalam ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah?”. Sebab dengan mengajukan pertanyaan semacam ini sudah menjadi pertanyaan yang telak tak terbantahkan.

 

Keenam: Semua amalan yang disebutkan dalam hadits yaitu dzikir, amar makruf nahi mungkar, hingga hubungan intim termasuk sedekah.

       Akan tetapi sedekah di sini ada yang bernilai wajib dan ada yang bernilai sunnah.

       Sedekah tersebut ada yang

a.      bernilai manfaat kepada orang banyak (muta’addi) Contoh amalan yang muta’addi adalah amar makruf nahi mungkar.

b.      ada yang kemanfaatannya hanya pada diri sendiri (qashir). Contoh yang bernilai qashir, bacaan tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah), takbir (Allahu akbar), tahlil (laa ilaha illallah).

       Bacaan dzikir ini ada yang wajib dan ada yang sunnah. Contoh ada bacaan takbir yang wajib yaitu bacaan takbiratul ihram “Allahu Akbar”. Sedangkan dzikir tasbih, tahmid, dan takbir pada dzikir bakda shalat dihukumi sunnah.

Ketujuh: Sedekah bukanlah terbatas pada sedekah dengan harta saja. Namun hukum asalnya adalah bersedekah dengan harta.

 

Kedelapan: Amar makruf nahi mungkar kadang dihukumi:

·       wajib ‘ain (wajib pada tiap individu), untuk mengajak yang makruf bagi yang mampu dan tidak didapatkan pengganti.

·       mustahab (sunnah), ketika mengajak pada perkara mustahab (sunnah), atau melarang kemungkaran yang sifatnya makruh, atau ada perkara yang bisa dimutlakkan sebagai kemungkaran.

·       wajib kifayah (wajib bagi sebagian dan sudah mencukupi), berlaku bagi yang mampu, namun masih bisa diwakilkan pada yang lain.

 

Kesembilan: Syarat amar makruf (menyuruh pada kebaikan) adalah :

(1) sudah punya ilmu mengenai hal yang makruf yang didakwahkan;

(2)   mengetahui kalau orang yang didakwahi telah meninggalkan yang makruf.

       Dalilnya kenapa ada syarat kedua adalah hadits di mana ada seseorang pada waktu shalat Jumat masuk masjid sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, ia langsung duduk, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya, “Apakah Anda sudah shalat?”

       Ia menjawab, “Belum.”

       Barulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya, “Bangun dan shalatlah dua rakaat dan persingkatlah.” (HR. Bukhari, no. 931 dan Muslim, no. 875).

       Di Hari Jum’at : aya Sholat Sunnah Inthidzhor (Nungguan Khotib sampe naek Mimbar). Teras we sholat setiap 2 roka’at salam, dst...

       Hindari ngaliwatan Tuur Batur ketika Jum’at, jeung ngageserkeun tempat diuk batur

       Hindari nyarek kanu gandeng jeung sasalaman ketika khotib tos mulai berkhutbah. Sok sanaos teu diharamkeun.

       Komo mun aya nu nundutan, ditoel dipaksa sina sasalaman, lebih baik jangan...

       Batal teu nundutan?, TEU... sapanjang peureumna teu bari ngagoler.

 

~      Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung menyuruhnya untuk mengerjakan shalat dua rakaat, namun bertanya dulu apakah ia sudah melakukan shalat tersebut ataukah belum.

 

Kesepuluh: Syarat nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah :

(1) mengetahui sesuatu yang dilarang adalah kemungkaran berdasarkan dalil syar’i, bukan berdasarkan perasaan, kebiasaan, cemburu, atau sekilas penglihatan;

(2)   orang yang ingin dilarang telah diketahui terjerumus dalam kemungkaran;

(3)   kemungkaran yang diingkari tidak akan berubah menjadi kemungkaran yang lebih parah.

Menjadi haram hukumnya jika kemungkaran yang diubah berubah dari kemungkaran ringan menjadi kemungkaran yang lebih besar.

 

Masalah kemungkaran yang diingkari ada empat keadaan:

1.    Kemungkaran tersebut hilang secara total.

2.    Kemungkaran tersebut menjadi lebih ringan.

3.    Kemungkaran tersebut menjadi yang semisal dengannya.

4.    Kemungkaran tersebut berubah menjadi yang lebih parah.

 

       Untuk keadaan pertama, kemungkaran hilang secara total, maka tidak ragu lagi hal tersebut menjadi wajib untuk diingkari. Demikian juga ketika menjadi ringan, sebab mengecilkan bentuk kemungkaran termasuk perkara yang wajib.

       Kalau kemungkaran tersebut berubah menjadi yang semisal dengannya, maka perlu dicermati lagi sebagai berikut:

·       bisa jadi ada maslahat karena bisa jadi lama-kelamaan kemungkarannya berkurang.

·       bisa jadi bertambah lebih parah, maka mengingkari dalam kondisi ini diharamkan.

Sedangkan merubah kemungkaran akhirnya menjadi bertambah parah, dalilnya adalah ayat,

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108)

 

~      Diceritakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin bahwa Ibnu Taimiyah pernah melewati kaum Tatar bersama temannya, ketika itu mereka sedang minum khamar dan melakukan perbuatan buruk lainnya. Ibnu Taimiyah tidak mencegahnya. Temannya pun berkata, “Kenapa engkau tidak melarang mereka?

~      Dan beliau tentunya mengetahui kaidah mengingkari kemungkaran, beliau berkata, “Jika aku melarang mereka, niscaya mereka akan menyerang rumah-rumah penduduk dan melukai kehormatan mereka, dan ini tentunya lebih buruk dari keadaan mereka sebelum diingkari. Cobalah perhatikan, bahwa sikap Ibnu Taimiyah adalah hasil dari kepahaman dalam agama.

 

Kesebelas: “dan berhubungan intim dengan istri kalian adalah sedekah”. Sedekah dalam hal ini bisa jadi hukumnya wajib, bisa jadi hukumnya sunnah. Apabila seseorang khawatir dirinya berbuat zina, jika ia tidak segera mendatangi istrinya, maka seperti ini dikatakan sedekah wajib. Jika tidak seperti itu, maka masuk sedekah sunnah.

 

Kedua belas: Bisa jadi berhubungan intim dengan pasangan tujuannya adalah sekadar memenuhi syahwat. Tujuan lainnya adalah untuk menghindarkan diri dari zina yang haram. Jika tujuannya yang pertama yaitu sekadar memenuhi syahwat dinilai tetap berpahala, apalagi jika tujuannya yang kedua. Alasannya sekadar memenuhi syahwat saja mendapat pahala adalah:

1.    Karena kita tidak boleh melarang diri kita pada sesuatu yang jadi hak kita, selama itu bukan maksiat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya dirimu juga memiliki hak yang harus ditunaikan.”

2.    Mendatangi istri berarti telah berbuat baik pada istri, sebab wanita pun memiliki syahwat seperti halnya laki-laki.

Jumhur (mayoritas) ulama berpandangan bahwa tidak hanya sekadar melakukan hubungan intim (dengan syahwat) mendapatkan pahala namun harus disertai dengan niat ingin meraih pahala dan mendekatkan diri kepada Allah karena “innamal a’maalu bin niyyaat” (setiap amal tergantung pada niatnya).

Ketiga belas: Para sahabat tidaklah pernah meninggalkan perkara yang rancu atau samar-samar. Ada yang dibingungkan, mereka akan bertanya. Hal ini kesimpulan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya lalu mendapatkan pahala di dalamnya”.

Keempat belas: Berarti perkara yang belum pernah ditanyakan oleh para sahabat yang menyangkut masalah agama, maka mempertanyakannya termasuk bid’ah.

 

Kelima belas: Bagusnya metode pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau membuat permisalan yang menjadikan lawan bicara menjadi puas, dan ini termasuk metode yang bagus dalam hal pendidikan. Lihatlah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan di jalan yang haram, bukankah akan mendapatkan dosa? Demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka ia mendapatkan pahala.”

 

Keenam belas: Kalimat “Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan di jalan yang haram, bukankah akan mendapatkan dosa?”, di sini menunjukkan bolehnya qiyas al-‘aksi (sebaliknya).

Ketujuh belas: Mencukupkan diri dengan yang halal dari perbuatan yang haram menjadikan yang halal menjadi ibadah dan bernilai sedekah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi, “berhubungan intim dengan istri kalian adalah sedekah”.

 

Kedelapan belas: Siapa yang tidak mampu melakukan ketaatan, maka ia bisa memperbanyak ketaatan yang lain yang ia mampu.

Kesembilan belas: Hadits ini menunjukkan seorang alim boleh mengkroscek ulang apa yang ditanyakan dari yang lain.

Kedua puluh: Hadits ini bukan menunjukkan hasad dari sahabat miskin pada sahabat yang kaya. Namun ini menunjukkan semangat para sahabat untuk berlomba meraih kebaikan atau disebut ghibthah. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 184.

Faedah hadits ini mayoritasnya digali dari Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsai


Hadits Ke-26

عَنْ أَبي هُرَيرةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( كُلُّ سُلامَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقةٌ ، كُلَّ يَوْمٍ تَطلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ : تَعدِلُ بَينَ الاِثْنَيْنِ صَدَقَةٌ ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ، فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا ، أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقةٌ ، والكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقةٌ ، وبِكُلِّ خُطْوَةٍ تَمشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقةٌ ، وتُمِيْطُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ )) . رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedakah setiap harinya mulai matahari terbit. Memisahkan (menyelesaikan perkara) antara dua orang (yang berselisih) adalah sedekah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah. Berkata yang baik juga termasuk sedekah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 2989 dan Muslim, no. 1009]

 

Penjelasan hadits

~      Sulamaa bermakna persendian. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah tulang.

~      Terdapat hadits dalam Shahih Muslim bahwa tubuh kita ini memiliki tiga ratus enam puluh persendian. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ

“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan memiliki tiga ratus enam puluh persendian.” (HR. Muslim, no. 1007)

 

~      “Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedakah setiap harinya mulai matahari terbit” bermakna setiap hari diwajibkan bagi anggota tubuh kita untuk bersedekah. Yaitu diwajibkan bagi setiap persendian kita untuk bersedekah. Dina hadits Shahih disebutken, salah satu cara shodaqohna badan ku Ngalaksanakaeun Sholat Dhuha.

~      Akan tetapi dengan nikmat Allah, sedekah ini adalah umum untuk semua bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah). Setiap bentuk pendekatan diri kepada Allah adalah termasuk sedekah. Berarti hal ini tidaklah sulit bagi setiap orang. Karena setiap orang selama dia menyukai untuk melaksanakan suatu qurbah (pendekatan diri pada Allah) maka itu akan menjadi sedekah baginya.

~      Kalimat yang thayyibah (kalimat yang baik) ada yang berupa thayyib di sisi Allah seperti bacaan tasbih, takbir, dan tahlil. Ada juga thayyib di sisi manusia dengan berakhlak yang baik. Semua termasuk sedekah.

 

~      Setiap langkah menuju shalat adalah sedekah baik jarak yang jauh maupun dekat.

~      Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِىَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu dia berjalan menuju salah satu dari rumah Allah (yaitu masjid) untuk menunaikan kewajiban yang telah Allah wajibkan, maka salah satu langkah kakinya akan menghapuskan dosa dan langkah kaki lainnya akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim no. 1553)


Faedah hadits

1)        Pertama: Wajibnya sedekah bagi setiap orang dengan setiap anggota badan pada setiap harinya mulai dari matahari terbit. Karena perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “’alaihi shodaqoh” menunjukkan wajibnya. Bentuk dari hal ini adalah setiap orang bersyukur kepada Allah setiap paginya atas keselamatan pada dirinya baik keselamatan pada tangannya, kakinya, dan anggota tubuh lainnya. Maka dia bersyukur kepada Allah karena nikmat ini.

 

Nabi telah memberikan ganti untuk hal tersebut yaitu untuk mengganti tiga ratus enam puluh persendirian sedekah dari persendian yang ada. Penggantinya adalah dengan mengerjakan shalat sunnah Dhuha sebanyak dua rakaat. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى»

 

“Pada pagi hari diwajibkan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Maka setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, dan setiap bacaan takbir adalah sedekah. Begitu juga amar makruf (memerintahkan kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak dua rakaat.” (HR. Muslim, no. 1704)

 

2)        Kedua: Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Susunan tubuh dan selamatnya anggota badan merupakan nikmat Allah bagi hamba-Nya. Maka semua tulang dari tubuh ini punya bagian bersedekah sebagai bentuk syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:74-75).

3)        Ketiga: Hadits ini menunjukkan keutamaan berbuat adil di antara dua orang yang berselisih. Dan Allah Ta’ala telah mendorong kita agar berbuat islah (perdamaian) sebagaimana dalam firman-Nya,

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (QS. An-Nisaa’: 128)

 

4)        Keempat: Dalam hadits ini terdapat dorongan untuk menolong saudara kita, karena melakukan seperti ini termasuk sedekah. Baik dalam contoh yang diberikan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini atau perbuatan lainnya.

5)        Kelima: Hadits ini memberi motivasi untuk berkata dengan perkataan yang baik. Hal itu bisa berupa dzikir, membaca, taklim, berdakwah dan lain sebagainya. Dan keutamaan berdakwah telah ditunjukkan dalam hadits,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa menunjukkan (orang lain) kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 5007)

6)        Keenam: Dalam hadits ini juga ditunjukkan mengenai keutamaan berjalan ke masjid. Dan berjalan pulang dari masjid juga akan dicatat sebagaimana perginya.

 

       Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dulu ada seseorang yang tidak aku ketahui siapa lagi yang jauh rumahnya dari masjid selain dia.

       Dan dia tidak pernah luput dari shalat. Kemudian ada yang berkata padanya atau aku sendiri yang berkata padanya, ‘Bagaimana kalau kamu membeli unta untuk dikendarai ketika gelap dan ketika tanah dalam keadaan panas.’ Kemudian orang tadi mengatakan, ‘Aku tidaklah senang jika rumahku di samping masjid. Aku ingin dicatat bagiku langkah kakiku menuju masjid dan langkahku ketika pulang kembali ke keluargaku.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ جَمَعَ اللَّهُ لَكَ ذَلِكَ كُلَّهُ

“Sungguh Allah telah mencatat bagimu seluruhnya.” (HR. Muslim, no. 1546)

 

7)        Ketujuh: Dalam hadits ini terdapat keutamaan menyingkirkan gangguan dari jalanan. Dan juga ini termasuk cabang keimanan sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

“Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah kalimat laa ilaha illallah. Yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanan. Dan malu termasuk bagian dari iman.” (HR. Muslim, no. 162)

Naha Julaikho (nu ngagoda Nabi Yusuf as) teu disebut dina Al-qur’an.... jeung timana urang apal bahwa namina eta Julaikho...

Padahal ku Alloh teu disebutkeun dina Al-qur’an...

Karena Alloh ngahargaan keneh ka manehna sabab boga saeutik Rasa kaera Keneh.... Pas Ngagoda nabi Yusuf Reregan jeung panto ditutup sieun jeung era kapanggih kalakuan bejadna. Padahal Alloh mah Uninga kana perkara eta.

 

Saeutik wae ku Alloh ditutupan kaerana... komo lamun loba kaerana dina perkara sae maksadna....

 

8)        Kedelapan: Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah menyatakan bahwa amalan-amalan yang disebutkan dalam hadits ini ada yang berupa ucapan, dan ada yang berupa perbuatan. Juga ada amalan yang qaashir (manfaat untuk diri sendiri) dan muta’addi (manfaat untuk orang lain). Semuanya termasuk sedekah.

       Amalan yang dicontohkan dalam hadits bukanlah pembatasan. Contoh yang berupa ucapan muta’addi adalah

a.      mendamaikan yang berselisih.

b.      membantu menaikkan orang lain atau barangnya ke atas kendaraannya.

c.       Pangnyebrangkeun batur,

d.      Nulungan anu kena bencana/musibah

e.       menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk perbuatan muta’addi.

       Adapun kalimat yang baik bisa berupa dzikir, doa, membaca Al-Qur’an, mengajarkan ilmu, amar makruf nahi mungkar, ada yang termasuk ucapan yang qaashir dan muta’addi.

       Adapun langkah kaki ke masjid termasuk perbuatan yang qaashir.

~      Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa RajaDiqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.

~      Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-'Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).

 

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya.....

~      Penulis kitab Fadha'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:

إِذْ أَوَى الفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَا ءَاتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo'a: "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)" (AL-KAHFI:10)

 

~      Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

~      Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda.

a.      Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi.

b.      Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi."

~      "Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.

~      "Jelaskan kepada kami tentang

1)        induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.

2)        "Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu?

3)        Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin!

4)        Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya!

5)        Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau!

6)        Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok!

7)        Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik?

8)        Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara?

9)        Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik?

10)    Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"

~      Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''

~      Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"

 

~      Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"

~      Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"

~      Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"

~      Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"

~      Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: "Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"

~      Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"

 

~      "Ya baik!" jawab mereka. (Pendeta)

~      "Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.

Mereka mulai bertanya:

1.    "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"

"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!"

Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"

Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu benar juga!"

2.    Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"

       "Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!"

3.    Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"

       Ali bin Abi Thalib menjawab: "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!" (Qs. An-Naml/27 : 18)

حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَوۡاْ عَلَىٰ وَادِ ٱلنَّمۡلِ قَالَتۡ نَمۡلَةٞ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّمۡلُ ٱدۡخُلُواْ مَسَٰكِنَكُمۡ لَا يَحۡطِمَنَّكُمۡ سُلَيۡمَٰنُ وَجُنُودُهُۥ وَهُمۡ لَا يَشۡعُرُونَ ١٨

18. Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari"

 

4.    Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"

       Ali bin Abi Thalib menjawab: "Lima makhluk itu ialah,

1.      Pertama, Adam. (teu gaduh ibu sareng bapa)

2.      Kedua, Siti Hawa (Teu gaduh ibu).

3.      Ketiga, Unta Nabi Shaleh (Teu boga Induk).

4.      Keempat, Domba Nabi Ibrahim (Langsung Ti Surga).

5.      Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."

       Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"

       Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."

       "Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.

 

"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.

       Ali bin Ali Thalib menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."

       Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan

1.      nama-nama mereka,

2.      nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka,

3.      nama raja mereka,

4.      nama anjing mereka,

5.      nama gunung serta gua mereka, dan

6.      semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"

       Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang.

       Lalu ia berkata: "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).

       Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."

       Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"

       Ali bin Abi Thalib menerangkan:

a.      "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= 554 m) dan lebarnya pun satu farsakh.

b.      Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan

c.       lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas.

Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak.

d.      Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya.

e.       Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.

f.        Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk.

g.      Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."

       Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"

a.      "Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.

b.      Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah.

c.       Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah.

d.      Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya.

e.       Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."

       Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"

a.        Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina.

b.        Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.

            Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja.

§  Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni.

§  Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga.

§  Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

            Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

            Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus.

            Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.

            Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.

            Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.

            Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."

          Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?"

          "Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."

          Teman-temannya mengejar: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?"

          "Sudah lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan. "Aku lalu bertanya pada diriku sendiri:

1.      'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?

2.      Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu?

3.      Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?'

4.      Kemudian kupikirkan juga bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?

5.      Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?'

6.      Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku?

7.      Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"

          Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: "Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!"

          "Saudara-saudara," jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!"

          "Kami setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.

          Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.

          Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: "Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar."Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

          Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?"

          "Aku mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!"

          "Ah…, susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?"

          "Ya," jawab penggembala itu.

          Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian."

          Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya." (QITMIR)

 

~          Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"

a.      "Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, "kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.

b.      Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

c.       Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: "Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t."

~      Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."

~      Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"

Imam Ali menjelaskan:

a.      "Gunung itu bernama Naglus dan

b.      nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"

~      Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.

~      Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka.

a.      Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri.

b.      Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

~      Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

~      Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!"

~      Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu."

~      Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:

وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَانًا رَّبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا

Dan begitulah Kamimempertemukan dengan mereka, supaya mereka mengetahui bahwa janji Allah adalah benar, dan bahwa Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata, "Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka." Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, "Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid."(AL-KAHFI:21)

 

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"

Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!"

Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam

Hikmah dari Kisah Ashabul Kahfi

1)   Mementingkan agama dari apapun, maka niscaya Allah SWT akan menyelamatkannya

2)   Tawakal kepada Allah SWT apabila dilanda masalah, yakin bahwa Allah SWT akan menolongnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HADITS #25-26 KITAB ARBA'IN

Hadits Ke- 25 عَنْ أَبِى ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ...