Hadits Ke-21
عَنْ أَبِيْ عَمْرٍو، وَقِيْلَ، أَبِيْ
عَمْرَةَ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ
يَارَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلامِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدَاً
غَيْرَكَ؟ قَالَ: “قُلْ آمَنْتُ باللهِ ثُمَّ استَقِمْ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Kalimat “katakanlah suatu perkataan dalam Islam” yaitu
dalam syariat Islam.
Kalimat “suatu perkataan yang aku tidak perlu bertanya tentangnya kepada seorang pun selainmu”, maksudnya kalimat tersebut sangat berbeda, kalimat tersebut sudah jadi definisi, sifat kalimat tersebut jaami’ dan maani’. Jaami’ dan maani’ artinya memasukkan semua yang tercakup di dalamnya dan mengeluarkan yang tidak tercakup di dalamnya.
Beriman kepada Allah itu terkait dengan amalan hati, sedangkan “kemudian istiqamahlah” berarti istiqamah dalam ketaatan termasuk amalan jawarih (anggota badan).
Para sahabat
sangat semangat dalam mencari ilmu. Hal ini dibuktikan dengan semangatnya
mereka dalam bertanya.
Sufyan bin
‘Abdillah Ats-Tsaqafi menanyakan perkara yang penting karena sudah cukup tanpa
perlu ditanyakan kepada selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sufyan bin
‘Abdillah Ats-Tsaqafi mungkin saja bertanya kepada sahabat lainnya dalam
masalah ilmu, dan ada di antara mereka yang bisa berfatwa. Namun karena begitu
pentingnya masalah ini, hanyalah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
diharapkan menjawabnya.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dikaruniakan jawaami’ul kalim,
yaitu kalimat yang ringkas namun sarat makna. Dan ini tercakup dalam dua
kalimat dalam hadits ini yaitu “aku beriman kepada Allah, kemudian
istiqamahlah”.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا
رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami
ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (QS. Al-Ahqaf: 13)
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami
ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan
turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah
merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan
Allah kepadamu“.” (QS. Fushshilat: 30)
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Hud: 112)
-
Siapa saja yang kurang dalam melakukan
yang wajib, berarti ia tidak istiqamah, dalam dirinya terdapat penyimpangan. Ia
semakin dikatakan menyimpang sekadar dengan hal wajib yang ditinggalkan dan
keharaman yang dikerjakan.
Sekarang
tinggal kita koreksi diri, apakah kita benar-benar istiqamah ataukah tidak.
Jika benar-benar istiqamah, maka bersyukurlah kepada Allah. Jika tidak
istiqamah, maka wajib baginya kembali kepada jalan Allah.
Istiqamah itu mencakup
segala macam amal.
a)
Siapa yang mengakhirkan shalat hingga
keluar waktunya, maka ia tidak istiqamah.
b)
Siapa yang enggan bayar zakat, maka ia
tidak istiqamah.
c)
Siapa yang menjatuhkan kehormatan orang
lain, ia juga tidak istiqamah.
d)
Siapa yang menipu dan mengelabui dalam
jual beli, juga dalam sewa-menyewa, maka ia tidak disebut istiqamah.
Ada tiga kiat utama yang bisa diamalkan.
Pertama: Mencari teman bergaul yang
saleh.
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan
orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai
besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli
darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika
engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau
dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101)
Kedua: Rajin hadiri majelis ilmu.
Dari Hanzhalah Al-Usayyidiy–beliau adalah di antara juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam–, ia berkata, “Abu Bakr pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Abu Bakr berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?” Aku menjawab, “Kami jika berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakr pun menjawab, “Kami pun begitu.”
Kemudian aku dan Abu Bakr pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata di depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ
إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِى وَفِى الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ
الْمَلاَئِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِى طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً
وَسَاعَةً ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian mau kontinu dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. (HR. Muslim no. 2750)
Ketiga: Memperbanyak doa kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا
بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong
kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah
kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha
Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ
القُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“ALLOHUMMA MUSHORRIFAL QULUUB SHORRIF QULUUBANAA ‘ALA
THOO’ATIK (artinya: Ya Allah, Sang Pembolak-balik hati, balikkanlah hati kami
untuk taat kepada-Mu).” (HR. Muslim, no. 2654)
إِنَّ قُلُوبَ بَنِى آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ
“Sesungguhnya hati manusia seluruhnya di antara jari jemari Ar-Rahman seperti satu hati, Allah membolak-balikkannya sekehendak-Nya.” (HR. Muslim, no. 2654)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin mengajarkan faedah yang bagus tentang doa ini di mana kalimat ‘ALA THOO’ATIK mempunyai makna sangat dalam. Artinya, kita minta kepada Allah supaya hati kita terus berada pada ketaatan dan tidak beralih kepada maksiat. Hati jika diminta supaya balik pada ketaatan, berarti yang diminta adalah beralih dari satu ketaatan pada ketaatan lainnya, yaitu dari shalat, lalu beralih pada dzikir, lalu beralih pada sedekah, lalu beralih pada puasa, lalu beralih pada menggali ilmu, lalu beralih pada ketaatan lainnya. Maka sudah sepantasnya doa ini diamalkan.
-
Prilaku manusia yang kerap kali berbuat maksiat
cukuplah menjadi alasan bagi Allah untuk menurunkan murka-Nya. Namun, ada
hal yang menahan Allah mengazab hamba-hamba-Nya. Apakah itu? “ISTIGHFAR
(UCAPAN PERMOHONAN AMPUN),”
(pula) Allah
akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun
-
Ibnu Katsir menukil riwayat dari Imam Tirmidzi bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Allah telah menurunkan kepadaku dua pengaman
atau penyelamat bagi umat dari azab dan bencana, yaitu keberadaanku dan
istighfar. Maka ketika aku telah tiada, masih tersisa satu pengaman
hingga hari kiamat, yaitu istighfar."
-
Bahkan, Ibnu Abbas menuturkan bahwa ungkapan istighfar meskipun keluar dari pelaku
maksiat dapat mencegah dari beberapa kejahatan dan bahaya.
-
Hadis Qudsi, yang artinya, "Demi keagungan dan
kebesaran-Ku, sesungguhnya Aku hendak menimpakan azab kepada penduduk bumi.
tetapi apabila Aku memandang kepada : orang-orang yang memakmurkan
rumah-rumahKu dan, memandang kepada orang-orang yang saling menyukai karena
Aku, dan, memandang kepada orang-orang yang
memohon ampun di waktu sahur, maka Aku palingkan azab itu dari
mereka."
Berikut 5 keutamaan dan
manfaat istighfar kepada Allah :
1.
Mejemput Ampunan
Mengamalkan
kalimat istighfar dapat membuka pintu rezeki seseorang. Allah SWT berfirman
dalam Al-Quran Surat Nuh : 10 yang artinya:
"Maka
aku katakan kepada mereka 'mohon ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, sesungguhnya
Dia adalah Maha Pengampun.
2.
Turunkan Hujan/Rizki
Selain
dapat membuka pintu rezeki, Allah SWT juga berjanji akan mengirimkan hujan
kepada umatnya yang mengucap istighfar sebagai kalimat taubat. Dengan hujan,
Allah SWT menyuburkan berbagai jenis tanaman dan kebun sebagai makanan.
Niscaya
Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakan harta dan
anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di
dalamnya) untukmu sungai-sungai."
3.
Diterima Taubat
Keutamaan
istighfar kepada Allah SWT lainnya adalah menggugurkan dosa dalam taubat. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam Hadist
Riwayat Bukhari nomor 6307 yang artinya: "Demi Allah, aku sungguh
beristighfar pada Allah dan bertaubat pada-Nya dalam sehari lebih dari 70
kali."
4.
Menghilangkan Rasa Malas dan Menambah Kekuatan
Rasa
malas bisa datang pada siapa saja. Hal ini tentu dapat menghalangi kegiatan
seseorang, misalnya dalam beribadah.
Namun,
mengucap istighfar dapat menghilangkan rasa malas tersebut. Dalam Hadist
Riwayat Muslim nomor 2702, Nabi Muhammad SAW juga bersabda yang artinya:
"Ketika
hatiku malas, aku beristighfar pada Allah dalam sehari sebanyak 100 kali."
(QS. Hud: 52).
وَيَٰقَوۡمِ
ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ
عَلَيۡكُم مِّدۡرَارٗا وَيَزِدۡكُمۡ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمۡ وَلَا
تَتَوَلَّوۡاْ مُجۡرِمِينَ
Dan (dia
berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah
kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan
menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan
berbuat dosa".
5.
Dimudahkan Urusannya
Keutamaan
istighfar juga dijanjikan Allah SWT, dapat memberikan jalan keluar dari segala
masalah hidup yang terjadi. Kalimat istighfar pun bisa menambah rezeki
seseorang.
Dalam
Hadist Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya:
"Barang siapa
memperbanyak istighfar, niscaya Allah memberikan jalan keluar bagi setiap
kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya, dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka."
6.
Diberi Nikmat yang terus menerus
(QS. Hud: 3).
وَأَنِ
ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِ يُمَتِّعۡكُم مَّتَٰعًا
حَسَنًا إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى وَيُؤۡتِ كُلَّ ذِي فَضۡلٖ فَضۡلَهُۥۖ وَإِن
تَوَلَّوۡاْ فَإِنِّيٓ أَخَافُ عَلَيۡكُمۡ عَذَابَ يَوۡمٖ كَبِيرٍ
3.
dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi
kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah
ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai
keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku
takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.
7. Terhindar dari Adzab
Alloh / Al
Anfal/8 ayat 33,
وَمَا
كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ
وَهُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ
33. Dan Allah sekali-kali
tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah
(pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun
Hadits Ke-22
Jabir bin ‘Abdillah
Hadits ini diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma. Beliau adalah Jabir bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin Haram Al-Anshari Al-Khajraji. Beliau berasal dari kota Madinah, termasuk anshar yang membantu dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau hijrah ke sana.
Dan di sini An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan: “Radhiyallahu ‘Anhuma”, semoga Allah meridhai keduanya (beliau dan ayah handa beliau). Jabir adalah salah seorang sahabat junior, sementara ayahanda beliau adalah sahabat senior yang wafat pada perang uhud.
Dan Jabir bin ‘Abdillah sudah masuk Islam ketika beliau masih muda, bahkan ketika beliau masih kecil, yaitu dalam kejadian baiatul aqabah ats-tsaniyah. Dan kemudian ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hijrah ke kota Madinah, beliau ikut membantu dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau ikut dalam semua perang yang diikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kecuali perang badar dan perang uhud. Karena beliau memiliki sembilan saudari perempuan.
Saat perang uhud dan perang badar ini, Ayahada beliau melarang beliau untuk ikut karena beliau harus menjaga sembilan orang saudari beliau. Maka beliau pun tidak berangkat ke perang uhud dan badar, dan ternyata di perang uhud Ayahanda beliau syahid bersama 70 sahabat lain. Baru setelah itu Jabir bin ‘Abdillah mengikuti semua peperangan yang diikuti oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Beliau juga termasuk salah satu sahabat dengan riwayat hadits paling banyak, ini menunjukkan kedekatan beliau kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan beliau wafat pada tahun 78 Hijriyah.
Penjelasan hadits Arbain ke-22
Dalam hadits ini, Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan bahwasanya ada seorang pria yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam sebagian riwayat hadits yang lain disebutkan bahwasanya orang yang bertanya ini adalah An-Nu’man bin Qauqal Radhiyallahu ‘Anhu, tentunya sahabat juga karena berjumpa langsung dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, kabarkan kepada saya apakah kalau saya sudah mengerjakan shalat yang wajib, melakukan puasa yang wajib (puasa Ramadhan), menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, apakah saya akan masuk surga?”
Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Iya, engkau akan masuk surga.”
Hal ini menunjukkan bahwasanya orang yang sudah mengerjakan perkara-perkara yang wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menambah sesuatu pun dari yang sunnah-sunnah sebagaimana yang kita pahami dari perkataan An-Nu’man bin Qauqal ini, beliau mengatakan: “Dan aku tidak menambah sedikit pun diatas amalan-amalan itu,” yaitu mengerjakan yang wajib-wajib dan yang meninggalkan yang haram-haram. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Iya, engkau akan masuk surga.”
Hal ini yang dimaksudkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam FirmanNya, surah Fatir ayat 22:
ثُمَّ
أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ
ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ
بِإِذْنِ اللَّـهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ﴿٣٢﴾
“Kemudian Kami wariskan kitab Al-Qur’an kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami, maka di antara mereka ada orang yang mendzalimi dirinya sendiri dan ada di antara mereka yang tengah-tengah, dan ada sebagian dari mereka yang unggul dengan kebaikan-kebaikan dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan itu adalah kemenangan yang sungguh besar.” (QS. Fatir[35]: 32)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi umat manusia kepada tiga kelompok, yaitu:
Yang pertama, orang-orang yang mendzalimi dirinya sendiri. Ini adalah kelompok yang masih meninggalkan yang wajib-wajib, juga masih mengerjakan yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini mendzalimi diri sendiri, karena kedzaliman adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Yang seharusnya menjadi kewajiban malah tidak dilakukan, sedangkan yang seharusnya dihindari malah dikerjakan, ini mendzalimi diri sendiri. Karena akibat perbuatan ini akan kembali kepada dirinya sendiri. Allah sama sekali tidak berkurang kuasanya, Allah tidak berkurang wibawanya, semua akibat dari kedzaliman itu akan ditanggung oleh hamba itu sendiri.
Yang kedua, orang yang sedang-sedang atau tengah-tengah, dia mencukupkan diri dengan yang wajib-wajib, juga tidak menambah amalan-amalan yang sunnah, tapi dia juga meninggalkan semua yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang ketiga, orang-orang yang unggul dengan berbagai kebaikan, orang-orang yang tidak hanya mencukupkan diri dengan amalan-amalan wajib saja, tapi mereka juga menambah dengan yang sunnah-sunnah, mereka meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, semua yang hukumnya haram bahkan juga menambah dengan meninggalkan yang makruh-makruh atau yang mubah karena kekhawatiran mereka kalau seandainya yang mubah itu nanti malah menarik mereka kepada yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jadi ada tiga kelompok hamba Allah, tentunya yang paling utama adalah yang mengerjakan yang wajib-wajib kemudian juga menambah dengan yang sunnah-sunnah. Kemudian yang kedua adalah yang muqtashid, yang ketiga adalah yang mendzalimi dirinya sendiri.
Dan karakter yang disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah adalah karakter yang kedua, yaitu muqtashid. Mereka yang mencukupkan diri dengan amalan-amalan yang wajib tanpa menambah dengan amalan-amalan sunnah, kemudian ditambah dengan meninggalkan perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang seperti ini adalah muqtashid dan hal itu cukup untuk membuat seseorang masuk ke dalam surga.
Jadi, dalam hadits ini dijelaskan bahwasanya kalau seseorang mencukupkan diri dengan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, beribadah cukup dengan amalan-amalan yang wajib saja tanpa menambah yang sunnah-sunnah, kemudian ditambah dengan meninggalkan yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka itu sudah cukup untuk membuat seseorang masuk ke dalam surga. Bahkan dengan nash dari Rasulullah, beliau langsung memberikan stempel ini
Hadits Ke-23
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الحَارِثِ بْنِ عَاصِمٍ الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:) الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيْمَانِ، وَالحَمْدُ للهِ تَمْلأُ المِيْزَانَ، وَسُبْحَانَ اللهِ والحَمْدُ للهِ تَمْلآنِ – أَو تَمْلأُ – مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، وَالصَّلاةُ نُورٌ، والصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَو مُوْبِقُهَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Penjelasan Hadits
Bersuci yang dimaksudkan adalah meninggalkan kesyirikan, dosa, dan maksiat serta berlepas diri darinya. Bisa pula diartikan bersuci di sini dengan wudhu untuk shalat karena wudhu adalah syarat sah shalat. Sedangkan penyebutan iman kadang dimaksudkan untuk shalat seperti dalam ayat,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ
إِيمَانَكُمْ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Ath-thuhur artinya perbuatan untuk bersuci, sedangkan ath-thohur
artinya air yang digunakan untuk bersuci. Sama seperti kata
al-wudhu artinya perbuatan berwudhu, sedangkan al-wadhu artinya air yang
digunakan untuk berwudhu.
Bacaan alhamdulillah memenuhi timbangan. Sedangkan bacaan subhanallah dan alhamdulillah memenuhi langit dan bumi, bisa jadi dengan dua bacaan tersebut bersama-sama atau salah satunya.
Tasbih berarti menyucikan Allah dari berbagai kekurangan. Sedangkan tahmid adalah menyifatkan Allah dengan berbagai sifat kesempurnaan.
Shalat adalah cahaya, yaitu cahaya pada hati dan cahaya pada wajah. Cahaya ini adalah hidayah dan juga akan menjadi cahaya pada hari kiamat.
Sedekah adalah bukti benarnya iman seseorang karena biasanya jiwa bersifat pelit dengan harta. Sifat orang munafik biasa beramal atas dasar riya’. Ia sulit bersedekah karena pelitnya pada harta.
Sabar sendiri mencakup tiga hal, yaitu
1.
sabar dalam ketaatan,
2.
sabar dalam menjauhi maksiat, dan
3. sabar dalam menghadapi takdir yang menyakitkan. Orang bisa bersabar menandakan akan kuatnya iman dan pandangannya yang bagus (bercahaya), sehingga disebutlah sabar itu dhiya’ (cahaya).
Al-Qur’an itu bisa jadi pendukung kita atau akan menuntut kita. Al-Qur’an bisa menjadi pendukung jika kita membenarkan, menjalankan perintah, dan menjauhi larangan yang ada di dalamnya, serta membacanya dengan benar. Sebaliknya Al-Qur’an akan menuntut kita ketika kita berpaling darinya dan tidak menjalankan sebagaimana yang dituntut.
Kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut.
، أنَّ نَافِعَ بنَ
عبدِ الحَارِثِ، لَقِيَ عُمَرَ بعُسْفَانَ، وَكانَ عُمَرُ يَسْتَعْمِلُهُ علَى مَكَّةَ،
فَقالَ: مَنِ اسْتَعْمَلْتَ علَى أَهْلِ الوَادِي، فَقالَ ابْنَ أَبْزَى، قالَ: وَمَنِ
ابنُ أَبْزَى؟ قالَ: مَوْلًى مِن مَوَالِينَا، قالَ: فَاسْتَخْلَفْتَ عليهم مَوْلًى؟
قالَ: إنَّه قَارِئٌ لِكِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وإنَّه عَالِمٌ بالفَرَائِضِ،
قالَ عُمَرُ: أَما إنَّ نَبِيَّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قدْ قالَ: إنَّ
اللَّهَ يَرْفَعُ بهذا الكِتَابِ أَقْوَامًا، وَيَضَعُ به آخَرِينَ.
Nafi’ bin ‘Abdul Harits pernah bertemu ‘Umar di ‘Usfan
dan ketika itu ‘Umar menugaskan Nafi’ untuk mengurus kota Makkah.
Umar pun bertanya, “Kalau begitu siapa yang mengurus
penduduk Al-Wadi?”
“Ibnu Abza”, jawab Nafi’.
Umar balik bertanya, “Siapa Ibnu Abza”.
Ketika itu dijawab, “Dia adalah di antara bekas budak
kami.”
Umar terheran dan berkata, “Kenapa bisa yang engkau
tugaskan adalah bekas budak?”
Nafi’ menjawab, “Ia itu paham Al Qur’an dan memahami ilmu
faraidh (waris).”
Umar berkata, “Sesungguhnya nabi kalian itu bersabda, “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seseorang dengan kitab ini (Al-Qur’an) dan merendahkan yang lain dengan kitab ini.” (HR. Muslim, no. 817)
Maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Setiap
manusia berbuat, seakan-akan ia menjual dirinya, ada yang memerdekakan dirinya
sendiri, ada juga yang membinasakan dirinya sendiri, manusia terbagi menjadi
dua.
1.
Pertama, manusia yang menjual dirinya
pada Allah dengan melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat, maka ia bebas dari
neraka dan selamat dari godaan setan.
2. Kedua, manusia yang menjatuhkan dirinya dalam maksiat dan dosa, ia terjatuh dalam syahwat yang terlarang, itulah yang mengantarkan ia pada neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar