Hadits Ke-20
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ
عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ
كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ”
رَوَاهُ البُخَارِي.
(HR. Bukhari) [HR.
Bukhari, no. 3484, 6120]
Penilaian Hadits
Hadits ini
dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari riwayat Manshur bin Al-Mu’tamar dari Rib’iy
bin Hirasy dari Abu Mas’ud dari Hudzaifah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka ada perbedaan dalam sanad hadits ini. Namun, sebagian besar ahli
hadits mengatakan bahwa ini adalah perkataan Abu Mas’ud. Yang mengatakan
demikian adalah Al-Bukhari, Abu Zur’ah, Ar-Raziy, Ad-Daruquthniy, dan
lain-lain. Yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah bahwa telah diriwayatkan
dengan jalan lain, dari Abu Mas’ud pada riwayat Masruq. Dikeluarkan pula oleh
Ath-Thabraniy dari hadits Abu Ath-Thufail dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:496.
Faedah Hadits
1.
Pertama: Sifat
malu adalah warisan para nabi terdahulu.
-
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah
mengatakan mengenai perkataan dalam hadits tersebut “Sesungguhnya perkataan
yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu.”
-
“Hadits ini menunjukkan bahwa sifat
malu adalah sisa (atsar) dari ajaran Nabi terdahulu. Kemudian manusia
menyebarkan dan mewariskan dari para Nabi tersebut pada setiap zaman. Maka hal
ini menunjukkan bahwa kenabian terdahulu biasa menyampaikan perkataan ini
sehingga tersebarlah di antara orang-orang hingga perkataan ini juga akhirnya
sampai pada umat Islam.” (Jami’ Al-‘ulum wa Al-Hikam, 1:497)
-
Yang dimaksudkan dengan (النُّبُوَّةِ الأُوْلَى) adalah
kenabian terdahulu yaitu (mulai dari) awal Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan
lain-lain. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh,
hlm. 112.
-
Perkataan umat terdahulu bisa saja
dinukil melalui jalan wahyu yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah (hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam) atau dinukil dari perkataan orang-orang terdahulu. Lihat
Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 207.
-
Karena hal ini adalah perkataan Nabi
terdahulu maka hal ini menunjukkan bahwa perkataan ini memiliki faedah yang
besar sehingga sangat penting sekali untuk diperhatikan.
Kedua: Ada pelajaran penting yang patut dipahami.
-
Syariat sebelum Islam atau syariat yang
dibawa oleh nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi
menjadi tiga:
1)
Ajaran yang dibenarkan oleh syariat
Islam, maka ajaran ini shahih dan diterima.
2)
Ajaran yang dibatalkan oleh syariat
Islam, maka ajaran ini bathil dan tertolak.
3)
Ajaran yang tidak diketahui dibenarkan
atau disalahkan oleh syariat Islam, maka sikap kita adalah tawaqquf (berdiam
diri, tidak berkomentar apa-apa).
Namun, apabila perkataan semacam ini ingin disampaikan
kepada manusia dalam rangka sebagai nasihat dan semacamnya maka hal ini
tidaklah mengapa, dengan syarat tidak dianggap bahwa perkataan itu multak
benar. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin, hlm. 231-232)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
”Malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. Muslim, no.
161)
Rasa malu ini juga dipuji oleh Allah.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ حَيِىٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
”Sesungguhnya Allah itu Mahamalu dan
Maha Menutupi, Allah cinta kepada sifat malu dan tertutup, maka jika salah
seorang di antara kalian itu mandi maka hendaklah menutupi diri.” (HR. Abu
Daud, no. 4014, dikatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani).
1.
Pertama, malu yang berkaitan dengan hak
Allah. Seseorang harus memiliki rasa malu ini, dia harus mengetahui bahwa Allah
mengetahui dan melihat setiap perbuatan yang dia lakukan, baik larangan yang
diterjangnya maupun perintah yang dilakukannya.
2.
Kedua, malu yang berkaitan dengan hak
manusia. Seseorang juga harus memiliki rasa malu ini, agar ketika berinteraksi
dengan sesama, ia tidak berperilaku yang tidak pantas (menyelisihi al-muru’ah)
dan berakhlak jelek.
-
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
memberi contoh, dalam majelis ilmu, jika seseorang berada di shaf pertama,
lalu dia menjulurkan kakinya, maka dia dinilai tidak memiliki rasa malu
karena dia tidak menjaga al-muru’ah (kewibawaan).
-
Jika dia duduk di antara
teman-temannya, kemudian dia menjulurkan kaki, maka ini tidaklah meniadakan
al-muru’ah. Namun, lebih baik lagi jika dia meminta izin pada temannya,
“Bolehkah saya menjulurkan kaki?”. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 233-234).
Kelima: Malu juga ada yang merupakan
bawaan, dan ada malu yang mesti diusahakan.
-
Sebagian manusia telah diberi
kelebihan oleh Allah Ta’ala rasa malu. Ketika dia masih kecil saja
sudah memiliki sifat demikian. Dia malu berbicara kecuali jika ada urusan
mendesak atau tidak mau melakukan sesuatu kecuali jika terpaksa, karena dia
adalah pemalu.
-
Sedangkan malu jenis kedua adalah malu
karena hasil dilatih. Orang seperti ini biasa cekatan dalam berbicara,
berbuat. Kemudian ia berteman dengan orang-orang yang memiliki sifat malu dan
dia tertular sifat ini dari mereka.
-
Rasa malu yang pertama di atas lebih
utama dari yang kedua ini. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234)
Bagaimana memupuk
sifat malu?
-
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah
dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan
bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah
dekat dengannya.
-
Inilah tingkatan iman yang paling
tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula
dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan
dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak
bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman,
seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.
Ketujuh: Jika tidak malu, lakukanlah sesukamu.
Para ulama mengatakan bahwa perkataan ini ada dua makna :
Pertama:
Kalimat tersebut bermakna perintah dan perintah ini
bermakna mubah. Maknanya adalah jika perbuatan tersebut tidak
membuatmu malu, maka lakukanlah sesukamu. Maka makna pertama ini kembali pada
perbuatan.
Kalimat tersebut bukanlah bermakna perintah. Para ulama
memiliki dua tinjauan dalam perkataan kedua ini:
1.
Kalimat perintah tersebut bermakna
ancaman. Jadi maknanya adalah: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka
lakukanlah sesukamu (ini maksudnya ancaman). Hal ini sebagaimana firman Allah
Ta’ala,
”Lakukanlah sesukamu. Sesungguhnya
Allah Maha Melihat apa yang kamu lakukan.” (QS. Fushilat: 40).
-
Jadi maknanya adalah: Jika kamu tidak
memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu. Dan penghalangmu untuk melakukan
kejelekan adalah rasa malu.
-
Jadi bagi siapa yang tidak memiliki
rasa malu, maka dia akan terjerumus dalam kejelekan dan kemungkaran. Dan
yang menghalangi hal semacam ini adalah rasa malu. Kalimat semacam ini juga
terdapat dalam hadits Nabi yang mutawatir,
مَنْ كَذَبَ
عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka silakan ambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari, no. 110 dan
Muslim, no. 3).
Kalimat ini adalah perintah,
namun bermakna khabar (berita). Jadi jika tidak memiliki sifat malu,
pasti engkau akan terjerumus dalam kemungkaran. Itu maksud perintah di sini
bermakna berita. (Lihat Tawdhih Al-Ahkam, 4:794, Darul Atsar; Syarh Arba’in
Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 113; Syarh Arba’in Al-Utsaimin, hlm. 207; Jami’
Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hlm. 255)
§
Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman
dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman.
§
Rasulullah SAW bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 atau
60 cabang, cabang iman tertinggi adalah mengucapkan 'La ilaha illallah', dan
cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR Bukhari-Muslim).
- Sifat malu perlu ditampilkan
seseorang dalam semua aktivitas kehidupan. Melaluinya, seseorang dapat menahan
diri dari perbuatan tercela, hina, dan keji.
§
Melalui sifat malu, seseorang akan berusaha mencari harta
yang halal dan
§
akan menyesal kalau ketinggalan melakukan kebaikan.
- Apabila seseorang hilang malunya,
secara bertahap perilakunya akan buruk,
kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang
hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Rasulullah SAW
bersabda, ''Sesungguhnya Allah apabila
hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu.
- Apabila rasa malunya sudah dicabut,
§
kamu tidak menjumpainya kecuali dibenci.
§
Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci, dicabutlah darinya sifat amanah.
§
Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka tidak akan
didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat
dan dikhianati.
§
Kalau sudah jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat.
§
Kalau rahmat sudah dicabut darinya, tidak akan kamu dapati
kecuali terkutuk yang mengutuk.
§
Apabila terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka
akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.''
(HR Ibn Majah).
- Ada tiga macam malu yang perlu
melekat pada seseorang.
1. Pertama, malu kepada diri sendiri
ketika sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat
dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal
saleh dan pengabdian kepada Allah dan umat.
2. Kedua, malu kepada manusia. Ini
penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran agama,
meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya
bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya
dari Allah karena ia terpelihara dari perbuatan dosa.
3.
Ketiga, malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat
membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani
melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu
mengawasinya.
- Sifat malu begitu penting karena
sebagai benteng pemelihara akhlak seseorang dan bahkan sumber utama kebaikan.
Maka dari itu, sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu
dapat meneguhkan iman seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar