JAM (Jujur, Amanah, dan Malu):
***
Jujurlah kalian selalu, karena sesungguhnya
kejujuran itu mengantarkanmu pada kebaikan, dan kebaikan itu
sesungguhnya mengantarkanmu menuju surga. Sedang dusta hanya akan
mengantarkanmu pada keburukan dan dosa, dan sesungguhnya dosa itu
mengantarkanmu menuju neraka
(HR Bukhori dan Muslim)
Kejujuran adalah kebijakan yang paling baik
(Benyamin Franklin)
Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan
(Thomas Jefferson)
***
Jujur
Jujur merupakan salah satu pilar karakter Nabi Muhammad. Rasulullah
SAW dikenal sebagai seorang yang jujur, atau fathonah. Bukan hanya jujur
dalam sikap, tetapi juga dalam segala tindakannya. Dalam hal ini,
sangatlah mustahil jika Nabi itu bersifat pembowong atau kizzib atau
dusta. Dalam Surat An Najm (4 – 5), Allah SWT berfirman:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌۭ يُوحَىٰ
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Karena kejujurannya itulah Rasulullah patut menjadi suri tauladan
kita semua umat Islam. Bahkan, orang di luar Islam, namanya Michael H.
Hart, dalam bukunya betajuk “The 100: A Rangking of the Most Influential
Persons in History”, telah meletakkan Rasulullah SAW sebagai manusia
yang paling berpengaruh di muka bumi di antara 100 orang yang paling
berpengaruh dalam perjalanan sejarah umat manusia. Beliau mempunyai
perilaku dan akhlak yang sangat mulia, tanpa membedakan manusia dari
status sosial, warna kulit, suku bangsa atau golongan. Beliau selalu
berbuat baik kepada siapa saja bahkan kepada orang jahat atau orang yang
tidak baik kepadanya. Oleh kerana itu tidak mengherankan jika dalam
Al-Quran beliau disebut sebagai manusia yang memiliki akhlak yang paling
agung.
Sayang sekali, dewasa ini kehidupan masyarakat dan bangsa kita, yang
secara mayoritas mengaku sebagai umat Islam, telah digerogoti oleh
virus korupsi yang konon dapat dikatakan sudah mencapai stadium keempat.
Tidak ada satu aspek kehidupan yang bebas dari virus korupsi ini. Mulai
dari olah raga, bahan sembako makanan berupa daging, bawang merah,
sampai denga parkir mobil pun sudah terkena virus tersebut. Dengan nada
geram, Khatib pun menyebutkan bahwa sampai dengan urusan pencetakan
kitab suci pun sudah terkena pula virus korupsi ini.
Itulah sebabnya, khatif telah mengingatkan kepada kita semua untuk
dapat menghidupkan kembali sifat jujur yang menjadi salah satu dari
empat sifat Rasulullah SAW.
Amanah
Pilar karaktekter amanah juga merupakan salah satu dari karakter yang
dimiliki oleh junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Nabi kita dikenal
sebagai seorang yang sangat amanah. Diceritakan oleh khatib, pada zaman
Rasulullah SAW, konon ada seorang penggembala biri-biri di padang pasir
jazirah Arab. Dia didatangi oleh sekelompok penjahat yang akan
mengambil biri-biri itu dari penggembala. Maka dibujuk-rayulah
pengembala itu. “Hei penggembala, dapatkah saya minta biri-birimu itu?”.
“Oh tidak,ini biri-biri bukan milik saya, tetapi milik tuan kami.
Karena itu, saya tidak dapat memberikan biri-biri ini kepada tuasn”.
Demikian jawab penggembala biri-biri itu. Para penjahat itu pun belum
berhenti membujuk penggembala, “Bukankah akan sangat mudah, jika kamu
bisa memberitahukan kepada tuanmu bahwa biri-biri itu telah diterkam
serigala atau binatnag buas yang lain”, bujuknya. Namun penggembala
bersikukuh tidak memberikan biri-biri itu kepada para penjahat.
Walhasil, penggembala itu dikenal sosok yang sangat amanah dalam
menggembala biri-birinya.
Sifat amanah juga menjadi salah satu dari empat sifat Rasulullah SAW
yang harus kita teladani. Amanah bermakna benar-benar boleh dipercayai.
Jika satu urusan diserahkan kepadanya, nescaya semua orang percaya bahwa
urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh kerana itulah
maka penduduk Mekkah member gelar kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
‘Al-Amin’ atau ‘terpercaya’. Gelar ini diberikan kepada Muhammad SAW
jauh sebelum beliau diangkat jadi seorang Rasul. Apa pun yang beliau
ucapkan dan laksanakan, dipercayai dan diyakini penduduk Mekkah karena
beliau terkenal sebagai seorang yang tidak pernah berdusta.
Sama dengan sifat jujur, sifat amanah pun dalam kehidupan negeri kita
ternyata telah menjadi barang yang langka. Mulai dari “kalangan alit”
sampai dengan “kalangan elit”, sebagian besar telah terjangkit virus
dalam kehidupan yang fana ini.
Malu
Malu adalah sebagian dari iman. Ini hadist yang sangat sering kita
dengar dalam percakapan sehari-hari. Tetapi entah apa dan bagaimana,
banyak di antara kita yang sudah tidak punya malu lagi. Sifat jujur dan
sifat amanah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi telah semakin
menipis, bahkan nyaris hilang dalam kehidupan. Hilangnya kedua sifat itu
pun juga tidak membuat malu. Artinya, rasa malu pun sudah hilang pula
sebagai salah satu indikator keberagamaan kita. Dengan demikian, yang
perlu dipertanyakan dalam hal ini adalah “masihkah kita dapat disebut
sebagai manusia yang beragama?”
Refleksi artinya mengaca diri. Materi khutbah Jum’at kali ini
diharapkan dapat menjadi kaca bening yang dapat kita gunakan untuk
mengaca diri. Masihkah kita memiliki ketika indikator tersebut? Masihkah
jujurkah diri kita? Jujur kepada diri sendiri, jujur kepada istri,
anak, dan keluarga, serta bahkan jujur kepada warga masyarakat dan
bangsa kita. Hanya Allah SWT dan diri kita sendirilah yang obyektif
dalam menilai kejujuran diri kita sendiri.
Masihkah kita amanah dalam mengemban tugas dan kewajiban dalam
kehidupan ini? Amanah memegang janji yang telah kita ucapkan? Janji
kepada diri sendiri, janji kepada keluarga, juga janji kepada semua
pihak dalam kehidupan ini. Hanya Allah SWT dan diri kita sendirilah yang
obyektif dalam menilai.
Kemudian, masihkah kita masih memiliki malu? Ataukah wajah kita
ternyata telah seperti pepatah “bak cermin kaca dibelah”. Ternyata,
wajah kita sudah demikian rusak seperti potret yang dapat kita lihat
sendiri seperti potret dalam kaca yang terbelah tersebut. Wallahu alam
bishawab. Juga hanya Allah SWT dan diri kita sendirilah yang menjadi
juri obyektif yang dapat menilainya.
Sesungguhnya, masih banyak indikator-indikator keberagamaan kita.
Namun demikian, dalam kutbah Jum’at kali ini, khatib kali ini hanya
menjelaskan ketiga indikator tersebut. Ketiganya memang memang menjadi
masalah kita semua dewasa ini. Dari manakah kita harus memecahkannya? Aa
Gym sering menyampaikan taushiyah “mulailah dari diri sendiri”.
Mudah-mudahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar