Islam memandang
penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
salam sama artinya dengan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah
Ta’ala dan agama Islam. Sebab, Allah Ta’ala-lah Yang telah mengutus beliau
sebagai penutup seluruh nabi dan rasul dengan membawa agama Islam.
Allah Ta’ala,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan agama Islam adalah tiga hal yang
saling berkait erat dan tidak bisa dipisahkan. Ketiganya wajib diagungkan oleh
seorang muslim. Penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada salah satunya
berarti penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada dua perkara lainnya.
Seorang muslim
akan mengikuti tuntunan Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ ulama dalam menyikapi
tindakan dan orang yang melakukan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada
Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam.
Lantas bagaimana Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ ulama memandang penghinaan,
pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam atau agama Islam?
Conto kamari :
1.
Aya
sandal berlafadz Alloh
2. Terompet tahun Baru tina jilid Al-qur’an
3. Panci aya Tulisan Alhamdu + Alloh
4.
Sapatu
aya ayat Al-qur’an
Dalil-dalil
Al-Qur’an
Ayat-ayat
Al-Qur’an secara tegas telah menerangkan bahwa orang yang menghina, melecehkan
dan mencaci maki Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
atau agama Islam adalah orang yang kafir murtad jika sebelumnya
ia adalah seorang muslim. Kekafiran orang tersebut adalah kekafiran yang berat,
bahkan lebih berat dari kekafiran orang kafir asli seperti Yahudi,
Nasrani dan orang-orang musyrik.
Adapun jika
sejak awal ia adalah orang kafir asli, maka tindakannya menghina, melecehkan
dan mencaci maki Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
atau agama Islam tersebut telah menempatkan dirinya sebagai gembong
kekafiran dan pemimpin orang kafir. Di antara dalil dari
Al-Qur’an yang menegaskan hal ini adalah: (QS. At-Taubah [9]: 12)
وَإِنْ
نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ
فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ
يَنْتَهُونَ
“Jika mereka
merusak sumpah (perjanjian damai)nya sesudah mereka berjanji dan mereka
mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu,
karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang
janjinya, agar supaya mereka berhenti.”
Dalam ayat yang
mulia ini, Allah menyebut orang kafir yang mencerca dan melecehkan agama Islam
sebagai aimmatul kufri, yaitu pemimpin-pemimpin orang-orang kafir. Jadi
ia bukan sekedar kafir biasa, namun gembong orang-orang kafir.
Imam Al-Qurthubi
berkata, “Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya membunuh setiap
orang yang mencerca agama Islam karena ia telah kafir. Mencerca (ath-tha’nu)
adalah menyatakan sesuatu yang tidak layak tentang Islam atau menentang dengan
meremehkan sesuatu yang termasuk ajaran Islam, karena telah terbukti dengan
dalil yang qath’i atas kebenaran pokok-pokok ajaran Islam dan kelurusan
cabang-cabang ajaran Islam.
Imam Ibnu
Al-Mundzir berkata, “Para ulama telah berijma’ (bersepakat) bahwa orang
yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam harus dibunuh. Di antara
yang berpendapat demikian adalah imam Malik (bin Anas), Laits (bin Sa’ad),
Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq (bin Rahawaih). Hal itu juga menjadi pendapat imam
Syafi’i.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/82)
Imam Ibnu
Katsir berkata, “Makna firman Allah mereka mencerca agama kalian adalah
mereka mencela dan melecehkan agama kalian. Berdasar firman Allah ini
ditetapkan hukuman mati atas setiap orang yang mencaci maki Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam atau mencerca agama Islam atau menyebutkan Islam
dengan nada melecehkan. Oleh karena itu Allah kemudian berfirman maka
perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka
itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka
berhenti, maksudnya mereka kembali dari kekafiran, penentangan dan
kesesatan mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/116)
Beliau juga
mengatakan: “Sesungguhnya mencaci maki Allah atau mencaci maki Rasul-Nya adalah
kekafiran secara lahir dan batin.
Beliau juga
mengatakan: “Jika orang yang mencaci maki (Allah Ta’ala) tersebut adalah
seorang muslim maka ia wajib dihukum bunuh berdasar ijma’ (kesepakatan ulama)
karena ia telah menjadi orang kafir murtad dan ia lebih buruk dari orang kafir
asli.
(QS. At-Taubah
[9]: 65-66)
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ
وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لا تَعْتَذِرُوا قَدْ
كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ
طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Dan jika kamu
tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka
akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main
saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian
selalu berolok-olok?”
Tidak usah
kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika
Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami
akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang
selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah
[9]: 65-66)
Tentang sebab
turunnya ayat ini, para ulama tafsir seperti imam Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir dan Jalaluddin As-Suyuthi telah
meriwayatkan hadits dari lbnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan
Qatadah bahwa dalam perang Tabuk ada orang yang berkata, “Kita belum pernah
melihat orang-orang seperti para ahli baca Al-Qur`an ini. Mereka adalah orang
yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam
peperangan.”
Para ahli baca Al-Qur’an yang mereka olok-olok tersebut adalah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli baca Al-Qur`an.
Mendengar
ucapan itu, Auf bin Malik berkata: “Bohong kau. Justru kamu adalah
orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Auf bin Malik
segera menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaporkan hal
tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai, wahyu Allah (QS. At-Taubah
[9]: 65-66) telah turun kepada beliau.
Ketika orang
yang ucapannya dilaporkan itu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau telah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Maka orang
itu berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Sebenarnya kami tadi hanya
bersenda-garau dan mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian
jauh untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan jauh kami.”
Ibnu Umar
berkata, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kedua kakinya tersandung-sandung batu
sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.”
Namun
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya kepadanya: “Apakah
terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Beliau hanya mengatakan hal itu dan tidak memberikan bantahan lebih panjang
lagi. (Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayyil Qur’an, 14/333-335, Tafsir Ibnu Abi
Hatim, 6/1829-1830 dan Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, 4/230-231)
Ayat di atas
menegaskan bahwa orang tersebut menjadi orang kafir murtad,
padahal sebelumnya ia seorang muslim yang beriman, karena ia mengucapan
olok-olokan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabat. Padahal
olok-olokan tersebut menurut pengakuannya sekedar gurauan dan obrolan biasa
sekedar pengusir kepenatan dalam perjalanan jauh perang Tabuk. Maka
bagaimana lagi dengan caci makian, pelecehan dan ejekan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam secara terang-terangan? Tak diragukan lagi, hal tersebut
merupakan kemurtadan dan kekafiran.
Imam Abu
Bakar Al-Jashash Al-Hanafi berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang
bercanda dan orang yang serius itu hukumnya sama saat ia mengucapkan kalimat
kekufuran secara terang-terangan tanpa adanya paksaan (siksaan berat
terhadapnya untuk mengucapkannya).
[3] Firman
Allah Ta’ala: (QS. At-Taubah [9]: 74)
يَحْلِفُونَ
بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ
إِسْلامِهِمْ
“Mereka
(orang-orang munafik itu) bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak
mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan
perkataan kekafiran, dan
[4]. Firman
Allah Ta’ala: (QS. An-Nisa’ [4]: 140)
وَقَدْ
نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ
بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي
حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ
الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعاً
“Dan sungguh
Allah telah menurunkan kepada kamu wahyu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu
mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang
kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki
pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya kalau kamu tetap duduk bersama
mereka, tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan
mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam neraka Jahanam.”
Syaikh Sulaiman
bin Abdullah Alu Syaikh berkata, “Makna ayat ini adalah sesuai zhahirnya.
Yaitu, jika seseorang mendengarkan ayat-ayat Allah dikufuri dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), lalu ia duduk-duduk bersama
orang-orang kafir yang mengolok-olok tersebut padahal ia tidak dipaksa untuk
duduk mendengarkan (melalui siksaan yang berat) dan ia pun tidak melakukan
pengingkaran serta tidak beranjak meninggalkan mereka sampai mereka
membicarakan urusan lainnya; niscaya ia telah kafir seperti orang-orang kafir
tersebut. Meskipun ia tidak melakukan seperti perbuatan mereka, karena sikapnya
(duduk, diam dan mendengarkan) tersebut mengandung makna ridha dengan kekafiran,
sementara ridha dengan kekafiran merupakan sebuah kekafiran.
Jika ia
mengklaim bahwa ia membencinya dengan hatinya, niscaya klaim tersebut tidak
bisa diterima, karena
penilaian didasarkan kepada aspek lahiriah dirinya. Sementara ia telah
menampakkan kekafiran, sehingga ia pun menjadi orang kafir.” (Majmu’atut
Tauhid, hlm. 48)
Imam Al-Qurthubi
berkata: “Barangsiapa tidak menjauhi mereka, berarti ia rela dengan perbuatan
mereka. Sementara rela dengan kekafiran merupakan sebuah kekafiran. Maka
barangsiapa duduk dalams ebuah majlis kemaksiatan dan ia tidak mengingkari
perbuatan mereka, niscaya dosanya sama dengan dosa mereka. Jika ia tidak mampu
mengingkari mereka, maka ia selayaknya beranjak pergi agar tidak termasuk dalam
golongan yang terkena ayat ini.” (Al-Jami’ fi Ahkamil Qur’an, 5/418)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar