Senin, 08 Februari 2016

TUNTUNAN ISLAM MENYIKAPI PELECEHAN TERHADAP NABI SAW.



Islam memandang penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sama artinya dengan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala dan agama Islam. Sebab, Allah Ta’ala-lah Yang telah mengutus beliau sebagai penutup seluruh nabi dan rasul dengan membawa agama Islam.
Allah Ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan agama Islam adalah tiga hal yang saling berkait erat dan tidak bisa dipisahkan. Ketiganya wajib diagungkan oleh seorang muslim. Penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada salah satunya berarti penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada dua perkara lainnya.
Seorang muslim akan mengikuti tuntunan Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ ulama dalam menyikapi tindakan dan orang yang melakukan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam. Lantas bagaimana Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ ulama memandang penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam?
Conto kamari :
1.      Aya sandal berlafadz Alloh
2.      Terompet tahun Baru tina jilid Al-qur’an
3.      Panci aya Tulisan Alhamdu + Alloh
4.      Sapatu aya ayat Al-qur’an

Dalil-dalil Al-Qur’an   
Ayat-ayat Al-Qur’an secara tegas telah menerangkan bahwa orang yang menghina, melecehkan dan mencaci maki Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam adalah orang yang kafir murtad jika sebelumnya ia adalah seorang muslim. Kekafiran orang tersebut adalah kekafiran yang berat, bahkan lebih berat dari kekafiran orang kafir asli seperti Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik.
Adapun jika sejak awal ia adalah orang kafir asli, maka tindakannya menghina, melecehkan dan mencaci maki Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam tersebut telah menempatkan dirinya sebagai gembong kekafiran dan pemimpin orang kafir. Di antara dalil dari Al-Qur’an yang menegaskan hal ini adalah: (QS. At-Taubah [9]: 12)
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)nya sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.”
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menyebut orang kafir yang mencerca dan melecehkan agama Islam sebagai aimmatul kufri, yaitu pemimpin-pemimpin orang-orang kafir. Jadi ia bukan sekedar kafir biasa, namun gembong orang-orang kafir.

Imam Al-Qurthubi berkata, “Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya membunuh setiap orang yang mencerca agama Islam karena ia telah kafir. Mencerca (ath-tha’nu) adalah menyatakan sesuatu yang tidak layak tentang Islam atau menentang dengan meremehkan sesuatu yang termasuk ajaran Islam, karena telah terbukti dengan dalil yang qath’i atas kebenaran pokok-pokok ajaran Islam dan kelurusan cabang-cabang ajaran Islam.
Imam Ibnu Al-Mundzir berkata, “Para ulama telah berijma’ (bersepakat) bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam harus dibunuh. Di antara yang berpendapat demikian adalah imam Malik (bin Anas), Laits (bin Sa’ad), Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq (bin Rahawaih). Hal itu juga menjadi pendapat imam Syafi’i.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/82)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Makna firman Allah mereka mencerca agama kalian adalah mereka mencela dan melecehkan agama kalian. Berdasar firman Allah ini ditetapkan hukuman mati atas setiap orang yang mencaci maki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau mencerca agama Islam atau menyebutkan Islam dengan nada melecehkan. Oleh karena itu Allah kemudian berfirman maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti, maksudnya mereka kembali dari kekafiran, penentangan dan kesesatan mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/116)
Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya mencaci maki Allah atau mencaci maki Rasul-Nya adalah kekafiran secara lahir dan batin.
Beliau juga mengatakan: “Jika orang yang mencaci maki (Allah Ta’ala) tersebut adalah seorang muslim maka ia wajib dihukum bunuh berdasar ijma’ (kesepakatan ulama) karena ia telah menjadi orang kafir murtad dan ia lebih buruk dari orang kafir asli.
(QS. At-Taubah [9]: 65-66)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?”
Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)

Tentang sebab turunnya ayat ini, para ulama tafsir seperti imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir dan Jalaluddin As-Suyuthi telah meriwayatkan hadits dari lbnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qatadah bahwa dalam perang Tabuk ada orang yang berkata, Kita belum pernah melihat orang-orang seperti para ahli baca Al-Qur`an ini. Mereka adalah orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan.” Para ahli baca Al-Qur’an yang mereka olok-olok tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli baca Al-Qur`an.
Mendengar ucapan itu, Auf bin Malik berkata: “Bohong kau. Justru kamu adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Auf bin Malik segera menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaporkan hal tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai, wahyu Allah (QS. At-Taubah [9]: 65-66) telah turun kepada beliau.
Ketika orang yang ucapannya dilaporkan itu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Maka orang itu berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Sebenarnya kami tadi hanya bersenda-garau dan mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan jauh kami.”
Ibnu Umar berkata, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.”
Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya kepadanya: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Beliau hanya mengatakan hal itu dan tidak memberikan bantahan lebih panjang lagi. (Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayyil Qur’an, 14/333-335, Tafsir Ibnu Abi Hatim, 6/1829-1830 dan Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, 4/230-231)

Ayat di atas menegaskan bahwa orang tersebut menjadi orang kafir murtad, padahal sebelumnya ia seorang muslim yang beriman, karena ia mengucapan olok-olokan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabat. Padahal olok-olokan tersebut menurut pengakuannya sekedar gurauan dan obrolan biasa sekedar pengusir kepenatan dalam perjalanan jauh perang Tabuk. Maka bagaimana lagi dengan caci makian, pelecehan dan ejekan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam secara terang-terangan? Tak diragukan lagi, hal tersebut merupakan kemurtadan dan kekafiran.
Imam Abu Bakar Al-Jashash Al-Hanafi berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang bercanda dan orang yang serius itu hukumnya sama saat ia mengucapkan kalimat kekufuran secara terang-terangan tanpa adanya paksaan (siksaan berat terhadapnya untuk mengucapkannya).




[3] Firman Allah Ta’ala: (QS. At-Taubah [9]: 74) 
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan

[4]. Firman Allah Ta’ala: (QS. An-Nisa’ [4]: 140)
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعاً
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu wahyu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya kalau kamu tetap duduk bersama mereka, tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam neraka Jahanam.”

Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh berkata, “Makna ayat ini adalah sesuai zhahirnya. Yaitu, jika seseorang mendengarkan ayat-ayat Allah dikufuri dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), lalu ia duduk-duduk bersama orang-orang kafir yang mengolok-olok tersebut padahal ia tidak dipaksa untuk duduk mendengarkan (melalui siksaan yang berat) dan ia pun tidak melakukan pengingkaran serta tidak beranjak meninggalkan mereka sampai mereka membicarakan urusan lainnya; niscaya ia telah kafir seperti orang-orang kafir tersebut. Meskipun ia tidak melakukan seperti perbuatan mereka, karena sikapnya (duduk, diam dan mendengarkan) tersebut mengandung makna ridha dengan kekafiran, sementara ridha dengan kekafiran merupakan sebuah kekafiran.
Jika ia mengklaim bahwa ia membencinya dengan hatinya, niscaya klaim tersebut tidak bisa diterima, karena penilaian didasarkan kepada aspek lahiriah dirinya. Sementara ia telah menampakkan kekafiran, sehingga ia pun menjadi orang kafir.” (Majmu’atut Tauhid, hlm. 48)

Imam Al-Qurthubi berkata: “Barangsiapa tidak menjauhi mereka, berarti ia rela dengan perbuatan mereka. Sementara rela dengan kekafiran merupakan sebuah kekafiran. Maka barangsiapa duduk dalams ebuah majlis kemaksiatan dan ia tidak mengingkari perbuatan mereka, niscaya dosanya sama dengan dosa mereka. Jika ia tidak mampu mengingkari mereka, maka ia selayaknya beranjak pergi agar tidak termasuk dalam golongan yang terkena ayat ini.” (Al-Jami’ fi Ahkamil Qur’an, 5/418)

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HADITS #25-26 KITAB ARBA'IN

Hadits Ke- 25 عَنْ أَبِى ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ...